Wednesday, September 28, 2011

Manfaat dan Fungsi Rumput laut bagi Kesehatan


Menggali Manfaat Rumput Laut
BAGAI onggokan serat kusut berwarna hijau kehitaman dan berlendir,
wujud rumput laut ketika habis dipanen mungkin tampak menjijikkan.
Namun, tumbuhan berderajat rendah ini sesungguhnya merupakan
"tambang emas".
DARI sumber hayati laut yang tidak menarik itu, bila diproses lebih
lanjut dapat menghasilkan lebih dari 500 jenis produk komersial, mulai
dari agar-agar dan puding yang jadi makanan kegemaran anak-anak,
obat-obatan, kosmetik, sarana kebersihan seperti pasta gigi dan
sampo, kertas, tekstil, hingga pelumas pada pengeboran sumur
minyak.
Meski telah menghasilkan beragam manfaat, penggalian manfaat
rumput laut hingga kini terus dilakukan di berbagai negara, sejalan
dengan menguatnya gerakan kembali ke alam. Penggunaan unsurunsur
bioaktif rumput laut ini memang lebih banyak ditujukan untuk
mengganti penggunaan bahan baku kimia sintetis yang

membahayakan manusia dan lingkungan hidup.
Pemanfaatan rumput laut di Indonesia sendiri sebenarnya telah
dimulai sejak tahun 1920. Tercatat ada 22 jenis rumput laut digunakan
secara tradisional sebagai makanan, baik dibuat sayuran maupun
sebagai penganan dan obat-obatan.
Sampai tahun 1990-an, penelitian telah berhasil mengembangkan
pemanfaatan 61 jenis dari 27 marga rumput laut. Namun,
penggunaannya selama itu masih terbatas untuk makanan dan obat.
Belum ada upaya pengembangan lebih lanjut pada produk lain yang
punya nilai ekonomis lebih tinggi.
BELAKANGAN ini para peneliti, di antaranya dari ITB, melalui program
riset unggulan dari Kementerian Riset dan Teknologi, mengembangkan
rumput laut sebagai pewarna, baik untuk makanan maupun tekstil.
Tumbuhan berklorofil ini memang kaya warna.

Warna itu bersumber dari empat suku rumput laut, yaitu
Rhodophyceae (alga merah), Phaephyceae (alga coklat),
Chlorophyceae (alga hijau), dan Cyanophyceae (alga biru-hijau).
Sesuai dengan namanya, alga tersebut mengandung zat warna alami,
yaitu merah, coklat, hijau, dan biru-hijau.
Warna-warna ini kemudian juga menginspirasi para peneliti dari Badan
Riset Kelautan dan Perikanan-Departemen Kelautan dan Perikanan
(BRKP-DKP) untuk mengolahnya menjadi pewarna batik.
Untuk memperoleh pewarna coklat-warna dominan pada tekstil
tradisional Indonesia itu, mereka mengekstrak zat pewarna dari alga
coklat, yaitu Sargassum filipendula dan Turbinaria. Dua spesies
tersebut banyak ditemukan di Indonesia, sedangkan di iklim subtropis
digunakan Laminaria. Dalam proses pengolahan Sargassum dan
Turbinaria itu diperoleh ekstrak rumput laut yang berupa senyawa
natrium alginat.
Khasiat biologi dan kimiawi senyawa alginat juga dimanfaatkan pada
pembuatan obat antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi,
dan mengatasi gangguan kelenjar. Rumput laut memang ibarat
"tanaman dewa". Itu karena unsur-unsur mineral yang terkandung di
dalamnya seperti iodium, seng, dan selenium.
Unsur seng dan selenium diketahui dapat mencegah kanker.
Kandungan seng dalam rumput laut diperkirakan 100 kali lebih tinggi
dibandingkan yang ditemukan pada air laut.
Adapun kadar iodium dari sumber hayati ini bahkan sampai 2000 kali
lebih tinggi dibanding yang terdapat di air laut. Hal inilah yang
mendorong peneliti dari Fakultas Teknik Pertanian UGM Sri Anggrahini
pada tahun lalu mengolah rumput laut menjadi mi.
Introduksi iodium pada jenis makanan yang banyak digemari
masyarakat dan harganya terjangkau itu ditujukan untuk mengatasi
defisiensi yodium pada penduduk, yang berdampak pada menurunnya

tingkat kecerdasan.
Dalam program Riset Unggulan Terpadu yang dilakukannya, unsur
iodium diambil dari spesies Turbinaria dan Sargassum juga. Uji coba
fortifikasi Turbinaria pada produk mi dilakukan di Jepara dari kadar 0,7
hingga 1,5 gram pada setiap 70 gram mi. Sementara itu, di Bali
dilakukan penambahan 2,6 hingga 5,6 gram iodium dari Sargassum
untuk berat mi yang sama. Hasilnya hanya penambahan 0,7 gram
Turbinaria pada mi yang tidak menunjukkan rasa dan tekstur yang
berbeda dibandingkan produk sejenis yang tanpa rumput laut. Karena
itu, iodium dari Turbinaria sebanyak itu dapat diterapkan lebih lanjut di
industri.
KEGUNAAN rumput laut yang beragam itu, ternyata karena di tiap
kelasnya terdapat senyawa yang berbeda dan memiliki sifat kimia dan
fisika yang spesifik pula. Bila dari alga coklat dihasilkan alginat, maka
dari kelas alga merah bisa didapat karaginan dan agar- agar. Alga
coklat terdiri dari paduan struktur kimia manuronat dan guluronat.
Untuk pewarna tekstil, alga coklat yang digunakan adalah yang
memiliki struktur manuronat lebih banyak dalam hal ini ada pada
Sargassum dan Turbinaria. Struktur kimianya mengikat zat pewarna,
namun lebih mudah melepaskannya pada bahan kain. "Sebagai
pewarna makanan dipilih alga yang memiliki struktur guluronat lebih
banyak karena sifatnya yang mudah dicerna," urai Jana Tjahjana
Anggadiredja pakar rumput laut dari BPPT.
Bahan pewarna alami ini kini mulai banyak digunakan menggeser
pewarna sintetis. Hal ini tentunya akan memberi banyak keuntungan
bagi Indonesia yang memiliki rumput laut jenis alga coklat yang
melimpah.
Selain ramah lingkungan karena bukan bahan kimia berbahaya dan
beracun, harga pewarna alami dari rumput laut juga relatif murah
dibandingkan pewarna kimia sintetis. Pembuatan batik cap dengan
pewarna rumput laut dapat menekan biaya hingga 25 persen.

Pemanfaatan potensi alam Indonesia ini juga akan berdampak pada
penghematan devisa karena akan mengganti pewarna batik yang
selama ini masih impor. Selain itu, pengolahan rumput laut menjadi
zat pewarna merupakan peluang usaha baru bagi industri lokal dan
selanjutnya juga akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
Lalu bagaimana prospek pemanfaatan alga merah yang memiliki
kandungan senyawa lebih banyak?
Karaginan pada alga merah digunakan sebagai pasta gigi karena
fiskositasnya tinggi dan strukturnya lebih lentur dan lembut.
Hidrokoloid rumput laut jenis ini memiliki kemampuan yang unik dalam
membentuk gel yang bertekstur pendek sesuai untuk pasta gigi.
"Penggunaan karaginan ini sekarang mulai menggeser bahan baku
xanthan gum untuk pasta gigi," tambah Jana yang juga Deputi
Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT. Agar-agar
selain sebagai bahan makanan yang sudah banyak dikenal, juga
digunakan untuk kosmetik karena mengandung zat pengemulsi yang
baik.
Bila melihat sifat-sifat fisika-kimia hidrokoloid rumput laut yang
tersusun dari senyawa polisakarida itu masih banyak lagi kemungkinan
aplikasi baru yang lebih luas seperti cairan pembersih, pelapisan
keramik, dan produk bertekanan, serta kertas. Salah satu
pemanfaatan lain adalah pada kertas printer atau mesin pencetak,
juga pada tekstil maupun karpet.
Keduanya membutuhkan bahan pasta yang mudah dituangkan tetapi
dapat terkontrol dengan baik untuk mendapatkan tingkat penetrasi
yang baik. Sifat thixotropic dari hidrokolid rumput laut membuatnya
cocok untuk tujuan ini.
MEMILIKI puluhan ribu pulau dan perairannya yang begitu luasmeliputi
dua pertiga luas wilayahnya atau 5,8 juta km persegi, dapat
tergambar potensi rumput laut Indonesia yang sangat tinggi. Di

sekeliling pulau-pulau yang banyak itu hampir semuanya ditumbuhi
rumput laut. Namun, teluk yang airnya tenang, relatif dangkal,
bersuhu panas, atau sedikit hari hujan, itulah daerah yang paling
digemarinya. Dalam hal ini kawasan timur Indonesia merupakan
daerah yang memiliki potensi rumput laut yang terbesar.
Dari penelitian yang pernah dilakukan pada zaman Belanda, yaitu pada
Ekspedisi Sibolga pernah ditemukan 555 jenis rumput laut di perairan
Indonesia. Ketika itu diketahui 56 jenis di antaranya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, mulai dari makanan ternak
hingga bahan baku industri. Jenis yang memiliki nilai ekonomis
umumnya termasuk dalam suku Rhodophyceae (alga merah), antara
lain marga Glacilaria, Gelidium, Hypnea, Eucheuma, dan Gelidiopsis.
Meskipun memiliki beragam jenis rumput laut, Indonesia belum
banyak memanfaatkan potensi sumber daya hayati itu. Selama ini
yang dimanfaatkan hanyalah Eucheuma (E spinosum dan E cottonii),
Glacilaria, dan Sargassum. Itu pun dilakukan dengan cara
mengambilnya dari alam. Hal ini bila dibiarkan dapat mengancam
kelestarian spesies rumput laut itu dan merusak ekosistem perairan.
Karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri dalam
kunjungannya di Sulawesi Selatan, awal Juli, menekankan perlunya
pengembangan budi daya rumput laut dan lebih lanjut pada
pengolahannya agar dapat memberi nilai tambah dan peningkatan
pendapatan bagi para nelayan. Dalam kunjungan kerja itu, Rokhmin
antara lain meninjau lokasi budi daya rumput laut di Palopo dan
industri pengolahan rumput laut di Takalar, Sulawesi Selatan,
Upaya pengembangan budi daya rumput laut, jelas Dirjen Perikanan
Budidaya DKP, Fathuri Sukadi mulai tahun 2003 dilakukan melalui
program Intensifikasi Budi Daya Rumput Laut di 18 provinsi pada areal
seluas 17.416 hektar. Untuk itu akan didistribusikan benih atau bibit
rumput laut sebanyak hampir 209 ribu ton.
Program Inbud Rumput Laut itu dilakukan dari hulu hingga hilir, mulai

dari penyuluhan hingga penyediaan modal. "Selain itu, diharapkan
terjadi jaringan kerja sama antarkelompok pembudi daya dari tingkat
kecamatan hingga provinsi untuk mengembangkan bisnis tersebut,"
lanjut Fathuri.
Untuk itu Ditjen Perikanan Budidaya DKP, pada tahun anggaran 2003
menyediakan anggaran melalui dana dekonsentrasi (Dekon) sebesar
Rp 11,9 miliar yang akan didistribusikan di 23 provinsi. Dana itu
dialokasikan untuk paket kegiatan percontohan, pelatihan, operasi
petugas lapangan, temu lapang, temu usaha, dan ribuan paket
penguatan permodalan.
Lebih lanjut Rokhmin mengharapkan pengembangan usaha rumput
laut ke arah industri. "Budi daya rumput laut harus diikuti dengan
pengembangan industri pengolahannya. Karena, sesungguhnya nilai
tambah yang tinggi justru pada pengolahan pascapanen," ujarnya.
Industri pengolahan bahan baku rumput laut menjadi bahan setengah
jadi apalagi bahan jadi belum banyak dilakukan di Indonesia. Sebagian
besar produksi rumput laut di ekspor sebagai bahan mentah, yaitu
rumput laut yang telah dikeringkan. Padahal bila bahan baku rumput
laut diolah dapat memberi nilai tambah beberapa kali lipat.
Pengolahan rumput laut yaitu E cottonii menjadi karaginan misalnya,
Farid Ma’ruf dari BRKP memberi gambaran dicapai 20 hingga 30 kali
lipat peningkatan nilai tambahnya. Bila dijual dalam bentuk bahan
baku harganya 0,3 dollar AS perkilogram. Namun, dalam bentuk SRC
(semi refined carrageenan) berharga 6 dollar AS/kg dan menjadi 10
dollar AS/kg dalam bentuk jadi sebagai bubuk karaginan.
Hal inilah yang membuat Indonesia menjadi pihak yang dirugikan.
Dengan mengekpor bahan mentah pihak asing yang menuai
keuntungan besar. Filipina negara pengimpor rumput laut Indonesia
misalnya, yang areal budi dayanya jauh di bawah Indonesia, bisa
mengekspor produk olahan rumput laut sebesar 700 juta dollar AS per
tahun. Sementara itu, Indonesia hanya sekitar 130 juta dollar AS saja.

Upaya merintis industri rumput laut telah dimulai di BRKP sejak
beberapa tahun lalu. Farid instalasi pembuatan karaginan skala
laboratorium telah dihasilkan BRKP dengan kapasitas 60 kg intake per
tiga jam. Pabrik percontohan ini telah dikembangkan pada skala
industri oleh PT Giwang Citra Laut di Takalar.
Menurut Setiawan Tedja, Presdir perusahaan itu, tahun ini diharapkan
dapat diproduksi karaginan dalam bentuk jadi beberapa ton per hari
yang akan diekspor ke Cina.
Sementara itu, lanjut Farid, tahun lalu direncanakan pula
pengembangan industri rumput laut di Biak dan Sumenep untuk
karaginan skala SRC, Semarang untuk produksi alginat, dan Lampung
untuk pembuatan karaginan sebagai bahan baku makanan. (yun)

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Arsip Blog

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

Blog Archive

About

Featured Posts Coolbthemes