Monday, October 17, 2011

Sastra Menurut Ahli Bedah Sastra, Budayawan dan Sejarawan


Dari beberapa buku para ahli, yang menghiasi mejaperpustakaan kecil saya dan berhasil saya baca, semakin luaslah capaianpengertian sastra. Saat itulah mata kita terbuka lebar dalam memandang duniasastra dari sisi yang beragam. Keprihatinan para ahli dalam mempertahankankedudukan penting sastra sebagai bagian dari bahasa, telah menghasilkanberbagai penelitian dalam mengembangkan bidang ilmu tersebut.
Dalam BungaRampai Bahasa, Sastra dan Budaya, kesusastraan bagi Achdiati Ikram adalahsebuah sarana untuk mengenal tata nilai, sikap hidup, serta alam pikiran suatubangsa atau kelompok manusia[1], yang dengankeanekaragaman menjadikan air jernih bagi para peneliti bahasa dan sastra;sebagai telaga yang tak pernah kering.
Penuturan Akhdiati Ikram dalam tulisannya, tidaklahsalah. Karena pengertian sastra tersebut membawa kesan yang bermanfaat danmasuk dalam tatanan keberadaan masyarakat kita yang senantiasa mempertahankannilai ketimuran, terlepas dari upaya mempersatukan nilai positif antara baratdan timur seperti dalam sajak Wolfgang Von Goethe, yang menyebutkan ‘barat dantimur adalah sama’. Pengertian sastra tersebut di atas telah mewakili kekokohankedudukan sastra sebagai sebuah kreasi. Dan kreasi itu juga bias muncul dariadat beserta nilai-nilai yang bergulir dalam kehidupan sehari-hari suatumasyarakat.

Lain lagi pendapat yang dipaparkan oleh A. Teeuw,seorang pengamat sastra Indonesia dari Belanda. Doktor Honoris Causa,Universitas Indonesia pada tahun 1975 ini menyebutkan kerangka sastra Indonesiadalam hubungan kelisanan (orality)dan keberaksaraan (literacy)[2].Pandangannya yang menarik perhatian public tentang aspek kelisanan dankeberaksaraan dalam sastra maupun bahasa Indonesia, merupakan sejumlah aspekpenting dan bersifat praktis, namun seringkali dilupakan oleh kebanyakanpengamat sastra.
Maka kemudian, diperoleh sebuah kesimpulan, bahwasastra adalah hasil dari daya kreasi masyarakat, yang tidak hanya menyinggungmasalah keberaksaraan. Namun jauh dari pada itu, aspek kelisanan merupakan halyang menting untuk dimunculkan ke permukaan sebagai sebuah karya sastra, danmemiliki kedudukan yang layak untuk sebuah pengertian tentang kesusastraan.Ingat, Soekarno, presiden pertama RI, selalu menggunakan tutur bahasa yangindah, menggoda dan berapi-api. Sehingga mampu mengalihkan semua pendengaranpara audiensnya.
Itulah pandangan seorang pengamat sastra. Bagaimanabila sastra ditinjau dari pandangan aspek sejarah? Berikut ini yang ditempuh DrIsmail Hamid dalam mendefinisikan Kesusastraan Indonesia, dengan interpedensiketerlibatan kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. Menuruttinjauan beliau, sebelum kesusastraan berupa tulisan, telah terlebih dahulu adakesusastraan rakyat. Kongkret dari kesusastraan ini ditandai dengan adanyahikayat, mantra, ilmu kalam dan beberapa jenis lainnya[3] yang berkembang dimasyarakat. Jadi, cukup jelas bahwa pengaruh agama sangatlah mendominasilahirnya kesusastraan pada saat itu. Kesimpulan yang bisa kita ambi,karya-karya kesusastraan Indonesia lama adalah kalam (ucapan) sebagai media yang digunakan untuk menyampaikanajaran Islam.
Dalam sejarah, sebuah peristiwa terjadi sekali.Namun, dalam wilayah kesusastraan, melalui sebuah pesan konkret, maka suatuperistiwa dibeberkan berkali-kali dengan lebih umum dan luas pada saat yangberlainan dengan terajadinya peristiwa tersebut. Bermula hal tersebut di atas, makaJan van Luxemburg mengenalkan pengertian sastra secara historikal. Di sinidijelaskan tentang kesepahaman dua kaum dalam zaman yang berbeda; kaum romantisdan kaum formalis[4].Kaum romantis menyebut sastra sebagai sebuah ciptaan (creation), yang mengandung keselarasan antara bentuk dan isi.Namun, kamu formalis berkata lain. Bagi kaum ini, kesusastraan ditentukan olehletak penyajiannya. Kiasan yang berawal dari kreasi untuk mengumpamakansesuatu, dianggap sebagai teks naratif bagi sebuah peristiwa yang diujarkandalam pengungkapan bahasa kias tersebut. Sebagai contoh: Bulan tertusuk lalang. Bagi kaum romantis bahasa itu masihmengandung logika kata walau jauh dari logika peristiwa. Namun, hal itu akanditolak oleh kaum formalis sebagai bahasa sastra. Akan lebih tepat biladitulis: Bulan terhalangi ilalang.
Sastra Menurut Non-Ahli
Sebagai non-ahli, tak adasedikit gambaran tentang pengertian sastra yang pemahamannya murni dari dalamdiri saya. Akhirnya, saya mencoba memahami arah ‘kreasi’ para pemilik pengertiankesusastraan. Saya bertanya kepada mesin pencari digital ‘Google’, saya menemukan 79,200 halaman web, yang didalamnya mengandung kata ‘kesusasatraan’. Kalau saya telusuri satu-persatuhalaman di mesin pencari digitaltersebut, maka habislah waktu saya untuk menelusuri pengertian kesusastraan.Bagitulah kebingungan yang melanda seorang non-ahli seperti saya.
Dalam sebuah halamanWikipedia disebutkan, Sastra (Sanskerta:, shastra) merupakan kata serapandari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti "teks yang mengandung instruksi"atau "pedoman". Berasaldari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasaIndonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada kesusastraan atau sebuah jenis tulisanyang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata sastra bisapula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.[5]
Wah, pengertian bergaris bawah sangat kontradiktifsekali dengan pengertian-pengertian yang saya temukan dalam makalah dansumber-sumber lainnya. Kalau ditelusuri, Wikipedia adalah perusahaan yangmenaungi lembaga Ensiklopedia dunia, yang bebas diedit oleh para pengguna yangmembuka halaman tersebut. Maka kemudian, hal itu mengingatkan saya kepada parapemuja GSM (Gerakan Syahwat Merdeka), dibawah naungan TUK (Teater Utan Kayu).Jangan-jangan, istilah terakhir tersebut ditambah oleh para dedengkot TUK.Karena media Wikipedia dibaca dunia, maka saya menghilangkan pengertianbergaris bawah tersebut.
Bagi saya, pengertian kesusastraan sangatlahsederhana. Kesusastraan adalah sebuah tradisi tutur-menutur, baik secara lisanmaupun tulisan, untuk menyampaikan pesan yang baik dan benar. Kesusastraan merupakansesuatu yang agung dalam berbagai bentuknya. Bukanlah karya yang statis,melainkan terus bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan zaman. Beragambentuk atau model kesusastraan yang dewasa ini berkembang dan diterima ditengah masyarakat justru akan semakin memperkaya khazanah kesusastraan yangdimiliki bangsa Indonesia.

*Ditulis dalam rangka memenuhi tugas pada matakuliah Teori Sastra


[1]Dalam sebuah makalah berjudul CitraKepemimpinan dalam Sastra Indonesia Lama, mengenai arti penting 
  kesusastraan,hal. 160
[2]Antara kelisanan dan keberaksaraan menyatakan seakan-akan Indonesia berada didua kutub kultur, antara kelisanan dan keberaksaraan. Sehingga, muncullahcerita-cerita rakyat yang mengalir dari mulut ke mulut tanpa ada kejelasansiapa penutur pertama cerita tersebut. Atau barangkali cerita-cerita yang dekatsekali dengan mitos tersebut merupakan hasil kreasi dari imajinasi masyarakatuntuk menanamkan nilai? Indonesia AntaraKelisanan dan Keberaksaraan, A. Teeaw, hal. 39
[3]Kesusastran Indonesia Lama Bercorak Islam,Dr. Ismail Hamid, hal. 1-3
[4]Pengantar Ilmu Sastra, Jan vanLuxemburg, hal. 6
[5]http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Arsip Blog

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

Blog Archive

About

Featured Posts Coolbthemes