Wednesday, May 11, 2011

Pajak Penghasilan (Pph)


Pengertian PajakPenghasilan
Pajak penghasilan adalah pajaklangsung dari pemerintah pusat yang dipungut pada seseorang atas pengahsilan dari semua orang yang berda diwilayah Indonesia. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhirtahun atau setelah tahun pajak berakhir. Pajak penghasilan diatur dalamundang-undang diantaranya adalah

  1. Undang-undang nomor: 7 tahun 1991tentangperubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan
  2. Undang-undang nomor 46 tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan bagi orang pribadi yang bertolak keluar negri
  3. UUD 1945 pasal23 ayat (2): segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang
  4. UU No. 6 Tahun 1983 ttg KUP jo. UU No. 9/1994
  5. UU No. 7 Tahun 1983 ttg PPh jo. UU No. 10/1994
  6. UU No. 8 Tahun 1983 ttg PPN jo. UU No. 11/1994
  7. UU No. 12 Tahun 1985 ttg PBB sbg diubah dengan UU no. 12 Tahun 1994
  8. UU No. 13 Tahun 1985 ttg Bea Materai
  9. UU No. 21 Tahun 1997 ttg BPHTP sbg diubah dengan UU No. 20 tahun 2007

Dalam Undang-Unadang PajakPenghasilan sendiri tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan subjek PPh, namunsecara umum pengertian Subjek Pajak adalah siapa yang dikenakan pajak. UU PPhmenegaskan ada tiga kelompok yang menjadi Subjek PPh yaitu:
1.      Orang pribadi dan warisan yang belum terbagisebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.      Badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, PerseroanKomanditer, perseroan lainya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentukapapun, Persekutuan, Perkumpulan, Firma, Kongsi, Koperasi Yayasan atauorganisasi yang sejenis, lembaga dana pensiun, dan Bentuk Badan Usaha lainnya.
3.      Bentuk Usaha Tetap (BUT).
BUT adalah bentuk usaha yang dikenakan orangpribadi yang tidak beretempat tinggal di Indonesia atau bertempat tinggal diIndonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau badan yangtidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankanusaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.

3.1 Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
               Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari  transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebutmerupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UUNo.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga depositoberjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkandalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup jugapenghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan sertapenghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilanyang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, padakenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaanpajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebutdiatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak ataspenghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalamiperubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orangpribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh finalsebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semuaorang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyaikegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudiandiubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usahapokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orangpribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1.      orang pribadi yang usaha pokoknya melakukanpengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2.      orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatasPTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secarajelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukanoleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilaipengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PPdimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajibpajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengandemikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukanmenjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihantersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama denganketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usahapokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuanyang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usahapengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak finalberarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakanpembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yangbersangkutan.
Kesulitan akan timbuldalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yangtelah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkanketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yangsudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauhlebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebihtinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidakmenerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dariharta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di sampingitu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuktidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasirkembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya.Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah danbangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajakkelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga hargaperolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubahdengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasanbahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hakatas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajaktetapi tidak final.

3.2 Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibatterjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPhmengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan brutodikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan,termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasaseperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yangdiberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biayapengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh hartaberwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biayalain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada danapensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karenapenjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaanatau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembanganperusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan,piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarattertentu;
Rincian dari biaya-biayayang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut"kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan hartayang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untukmendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kursmata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapatdikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimilikidan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yangdipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanismeyang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengaturdua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan danpenarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, makapenarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabilaharta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisabukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan makajumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannyaterhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalamusaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UUini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnyapengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atasdasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yangdisebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya.Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan,seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalahmenghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barangtersebut.
UU PPh mengatur tentangpenilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itumenyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenisbarang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi,bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untukkeperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengancara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugianyang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan.Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknyapersediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabilaketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaimkerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yangharus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana.Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karenaterjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk:penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saatdilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (biladiperlukan). 

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Arsip Blog

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

Blog Archive

About

Featured Posts Coolbthemes