Wednesday, October 12, 2011

SEJARAH FILSAFAT



Sejarahfilsafat barangkali sepanjang sejarah manusia itu sendiri. Filsafat tidak bisadipahami lepas dari sejarahnya. Filsafat muncul dan berkembang dalamhistorisitas. Sejarah filsafat merupakan panggung kontestasi filsafat yangdarinya dinamika pengertian dan bisa jadi makna substantif filsafat padaakhirnya bisa garisbawahi.  Oleh karenaitu, cara terbaik untuk mengerti filsafat adalah dengan cara memahami dinamikamaknanya dalam perkembangan sejarahnya. Tidak cukup mengetahui filsafat darifilosof, tetapi juga dari sejarah yang menjadi saksi dan sekaligus konteks bagifilsafat mementaskan dan juga menampakkan makna dirinya. Oleh karena itu padabagian ini, disampaikan pengenalan awal tentang sejarah filsafat, kapansebenarnya filsafat itu pertama kali muncul di planet biru ini, dan bagaimanamengerti secara filsafat dengan cara yang paling sederhana. Yang pertama akandijelaskan dalam subjudul penyoalan asal-usul filsafat dalam makna hakikinya,dan yang kedua diurai di bawah subjudul periodesasi sejarah filsafat sebagaipendekatan penyederhanaan pemahaman sejarah filsafat.
A.   Persoalan Asal-Usul Filsafat

Asal-usul filsafat, dalam pengertian cara-cara baru berpikir yangdiberi nama filsafat pertama kali dibuat dan menjadi tradisi besar danberpengaruh, mulai dari peradaban Yunani Kuno. Asal-usul filsafat dalampengertian ini biasanya lebih tepat asal-usul filsafat Barat, yang bermula dariYunani Kuno sekitar Abad ke-7 dan ke-6 SM ketika Anaximandros, Anaximenes,Thales dan lain sebagainya disebut-sebut sebagai pemikir-pemikir generasi awalyang disebut secara embrional dipandang sebagai cikal-bakal filsafat berawaldan tumbuh hingga dewasa ini. Pythagoras disebut-sebut sebagai pemikir pertamayang menyebut model berpikir Thales dan kawan-kawannya itu dengan filsafat. Tetapijika dari sudut pandang cara-cara yang dipakai Thales dan kawan-kawan, yaitucara dari dalam diri manusia memahami realitas atau alam, yang dipandang secaraawal-mula filsafat, sebenarnya cara-cara berpikir yang mirip dengan merekasudah ada jauh sebelumnya, misalnya di India.
Pada tahun 1500 – 700 SM, di India, di tengah-tengah usaha memahamirealitas atau alam ini secara mistis dan religius, menurut Velasques, adacara-cara baru dalam memahami realitas atau alam seperti bisa ditemui dalamhimne-himne dalam Veda-veda karya para penulis dan pemikir India yangumumnya tidak diketahui. Cara-cara memahami realitas atau alam adalah upayamendeskripsikan asal-usul alam semesta dalam istilah-istilah mistis, namundalam saat yang sama juga menggambarkan cara-cara yang nonmistis dan dekatdengan terma-terma filsofis sebagaimana kita kenal sekarang, misalnya, tentangeksplanasi Yang Satu yang dipahami yang bukan eksistensi ataupun noneksistensi,yang tidak di bumi dan tidak dilangit, pendeknya yang takterbedakan dantaktergambarkan. Mereka berfilsafat tentang hakikat realitas mutlak. DalamUphanishad, tulisan-tulisan yang kemudian ditambahkan dalam Veda, kita bisamenemukan upaya-upaya pertma para pemikir India memahami realitas mutlak dalamterma-terma filsofis.[1]
Filsafat dalam pengertian hakikinya, tanpa harus bernama filsafat, yaitusebagai upaya mengerti secara rasional tentang dunia luar dan dunia dalammanusia, barangkali tidak bisa hanya disebut bermula dari masyarakat India,Mesir, Yunani atau yang lainnya. Kata-kata yang bijak untuk mengatakanasal-usul filsafat yang sesungguhnya, tanpa terjebak pada istilah, adalahsemenjak manusia itu ada. Sejak manusia ada, berfilsafat atau sebut sajaberpikir mendalam dan mendasar mengenai realitas barangkali telah menjadibagian dari hidup manusia itu, meski mungkin pengertian filsafatnya tidaksedalam yang bisa dimengerti orang di jaman sekarang. Tidak bijak kiranyamengatakan bahwa berfilsafat hanya mungkin dimengerti orang setelah sekian masaperjalanan umat manusia. Tidak bijak kalau kita bilang, orang-orang primitiftidak mungkin bisa berfilsafat, hanya orang setelah jaman filosof-filosofYunani saja yang bisa berfilsafat. Berfilsafat adalah bagian cari cara hidupmanusia dalam memecahkan masalah-masalah hidupnya, dan awal-mula filsafat,dalam makna hakikinya tanpa melihat namanya karena sebelum ada nama filsafatorang sudah berfilsafat, adalah pertama kali manusia ada.


B.    Periodesasi Sejarah Filsafat sebagai PendekatanPenyederhanaan Pemahaman Sejarah Filsafat
Penulisan sejarah ideal tentang sejarah filsafat mestinya mencakupseluruh pikiran semua filosof yang ada dalam sejarah hidup manusia. Jikamengikuti sejarah ideal tentang filsafat ini, tentu tulisan yang akandihasilkan membutuhkan banyak waktu dan tidak cukup hanya ratusan atau ribuanjilid buku. Di antara mereka yang mencoba memasuki penulisan sejarah filsafatideal ini adalah Copleston. Dia mencoba menulis tentang sejarah filsafat dariawal sejak filsafat pada masanya, dan hasilnya adalah buku sejarah filsafat yangberjumlah …. Jilid?
Dalam bagian ini kita hanya akan mencoba memahami sejarah filsafatdengan cara yang sangat sederhana dan serba ringkas, karena yang penting kitasetidaknya bisa mengerti sejarah filsafat secara sekilas dengankarakter-karekter dasar berfilsafatnya. Salah satu cara melakukanpenyederhanaan pemahaman tentang sejarah filsafat adalal melalui pendekatanperiodisasi sejarah filsafat. Yang dimaksudkan pendekatan periodisasi sejarahfilsafat adalah upaya menemukan ciri-ciri fundamental pemikiran filosofis yangsama dilakukan oleh para filosof dalam kurun waktu tertentu, dan di kurun waktuberikutnya bisa ditemukan tanda perubahan ciri-ciri fundamental pemikiranfilsofis yang berbeda yang menunjukkan kontinuitas kritisnya terhadap kurunsebelumnya, demikian seterusnya. Kemudian masing-masing kurun yang menunjukkankesamaan atau setidaknya kecenderungan berfilsafat yang sama diberi nama-namayang membedakan periode pertama dengan periode-periode berikutnya.
Sejarah filsafat dengan penggunaan pendekatan periodisasi sejarah inibanyak dilakukan para penulis filsafat. Umumnya sejarah filsafat di bagi kedalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern. Munitz menyebutada empat periode besar sejarah filsafat, yaitu periode klasik (ancientperiod), periode pertengahan (medieval period), periode modern (modern period), dan periode kontemporer (contemporary  period).[2] Tulisanini akan menggunakan periodisasi Munitz tersebut dengan menambahkan satuperiode lagi, yaitu periode sebelum periode klasik, yang disebut di siniperiode pra-sejarah. Periode ini untuk membari pengakuan adanya eksistensiaktivitas berfilsafat yang tak pernah sampai kepada kita karena tidak adapeninggalan tertulisnya, atau secara singkat untuk memasukkan periodeberfilsafat sebelum masa Yunani yang biasa disebut sebagai periode klasik.
1.     Filsafat dalam Periode Pra-Sejarah
Yang sampai pada kita tentang informasi historis mengenai filsafatdalam periode paling awal adalah dari tradisi Yunani Kuno, ketika Thales dankawan-kawan mencoba menjawab misteri asal-usul alam semesta dengan cara-cararasional yang kemudian tradisi berpikir ini oleh Pythagoras disebut ФіλοσοФіα atau Philosophia. Informasi ini sampai karenapikiran-pikiran mereka terekam dalam bentuk tulisan. Thales dan pemikir-pemikirsemasanya waktu itu juga tidak pernah menyebut pemikirannya dengan filsafat,namun cara-cara berpikir mereka yang baru dalam mengerti dunia yang berbedadengan cara-cara orang yang hanya mengerti dunia dengan mengikuti mitos-mitosyang ada ini oleh orang setelahnya dinamai aktivitas berpikir awal yang disebutfilsafat.
Boleh jadi orang-orang yang berpikir seperti cara-cara berpikir Thalesdan kawan-kawannya juga bisa ditemukan jauh sebelum Thales dan kawan-kawannya.Sayangnya, tidak ada jejak tertulis untuk mengenali tradisi berpikirorang-orang dulu jauh sebelum era Yunani Kuno yang pantas dipayungi denganistilah filsafat. Untuk mengapresiasi mereka dalam periodisasi sejarahfilsafat, mereka perlu diberi tempat masuk dalam periode sejarah filsafatpra-sejarah. 

2.     Filsafat dalam Periode Klasik
Periode klasik dari sejarah filsafat biasanya banyak disebutkan dimulaidari filosof-filosof pra-Socrates, seperti Thales, Anaximenes, Anaximander,Parmenides, Heraclitus,  Pythagoras, danDemocritos. Dari filosof-filosof pre-Socrates, kemudian diikuti filosof-filosofYunani legendaris, seperti Socrates, Plato, Aristoteles. Setelah mereka,periode klasik sejarah filsafat diakhiri dengan serentetan filsafat mulai darineoplaonisme, epicureanisme, skeptisisme, stoisisme, dan rumusan-rumusan palingawal dari pemikiran-pemikiran orang-orang Yahudi dan Kristen.[3]
Oleh karena itu, sejarah filsafat periode klasik, yaitu pada jamanYunani Kuno, sering dalam literatur-literatur filsafat dibagi menjadi duapeiode. Ada yang menyebut Periode Klasik I dan Periode Klasik II, ada yang menamaiPeriode Yunani Kuno dan Yunani Setelah Klasik, dan lain sebagainya. Tulisan inilebih suka menggunakan Yunani Periode Sebelum Socrates, Yunani Periode TrioFilosof Legendaris, dan Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
a.      Yunani Periode Sebelum Socrates (600-400 SM)
Zaman Yunani sebelum Socrates (600-400 SM) merupakan masapertumbuhan pemikiran filosofis yang membedakan diri dari kondisi pada saat ituyang didominasi pemikiran-pemikiran mitologis. Para filosof cenderungmenawarkan pemikiran rasional yang penuh dengan argumen logis yang sebelumnyamenganggap bahwa alam tercipta karena adanya dewa Apollo, atau dewa-dewa yangada di planet lain.
Argumen yang ditawarkan para filosof masa ini cenderung menganggap alamini berasal dari air demikian dikemukakan oleh Thales (625-545 BC)[4]. BahkanThales menambahkan bahwa air adalah segala sesuatu, sebab air dibutuhkan olehsemua yang ada. Air dapat diamati dalam bentuknya yang bermacam-macam. Airdapat berbentuk benda halus (uap), sebagai benda cair (air), sebagai bendakeras (es). Air dapat diamati di mana-mana, di laut, di danau atau di tempatamndi bahkan di makanan sekalipun. Berbeda dengan Thales, Anaximandros (610-540BC) mengatakan bahwa realitas terdasar bukanlah air melainkan to apeironyaitu sesuatu yang tidak terbatas. Sebab air masih ada lawannya adalah api. Apitidak mungkin berasal dari air. Oleh sebab itu to apeiron pada dasarnyaadalah sesuatu yang tidak terbatas. Alam terjadi dari to aperiondisebabkan oleh adanya penceraian (ekliresis) dari yang tidak terbatas (toapeiron), dilepas unsur-unsur yang berlawanan seperti panas dan dingin,kering dan basah dan sebagainya, selain itu juga ada hukum keseimbangan.Anaximenes (538-480 BC) berpendapat lain bahwa alam ini berasal hawa dan udara.Heraklitos (540-475 BC) mengatakan bahwa segala sesuatu menjadi, segala yangada bergerak terus menerus, bergerak secara abadi artinya perubahan adalahpangkal dari yang ada. Lain halnya Parmindes (540-475 BC) yang bertolakbelakang dari Heraklitos.
Filosof-filosof awal pada periode ini mengenalkan suatu cara baru dalammemahami dunia di sekitarnya. Cara baru mereka adalah berpikir memahami duniaatau alam semesta dengan cara yang non-mitologis. Mereka menggunakan daya nalarrasional untuk menjelaskan alam semesta. Mereka tidak memahami alam dari luardiri manusia, seperti hanya mengambil jawaban dari mitos-mitos yang sudah ada,melainkan dari dalam diri manusia itu sendiri, yakni dengan menggunakan rasioatau akal manusia itu sendiri.
b.     Yunani Periode Trio Filosof Legendaris
Periode ini adalah masa yang terbentang antara 500-300 SM di YunaniKuno. Era ini merupakan pola pemikiran Yunani Klasik yang sangat menonjol darisegi analisis rasionalnya. Era ini bersinar dan berpengaruh luas ke seluruhdunia karena pemikiran tiga filosof Yunani yang legendaris, yaitu Socrates(470-400 SM), Plato (428-348 SM), dan Aristoteles (384-322 SM).
Trio filosof besar diataslah yang banyak memberikan kontribusi besarterhadap dunia filsafat dan ilmu pengetahuan. Bahkan dapat dikatakan bahwapuncak filsafat Yunani dicapai pada zaman ini[5]. Banyaksekali temuan filosofis yang disumbangkan pada zaman ini antara lain Sokratesmenyumbangkan tentang nilai kebaikan yang dicapai melalui pengetahuan tentangapa yang baik itu. Plato merupakan penggabung pemikiran Heraklitos danParminedes dan melahirkan tentang faham idealisme. Idealisme Plato menekankantentang alam idea yang menjadi sumber dari yang tampak sebagai fenomena. Iaberkesimpulan sebenarnya realitas yang tampak itu secara empiris itu bukanmerupakan realitas yang sesungguhnya. Realitas yang sesungguhnya adalah apayang ada dibalik realitas yang tampak. Plato meyakini bahwa dalam pikiranmanusia terdapat ide-ide bawaan. Ide-ide ini akan terpanggil kembali ketikamelihat hal-hal, benda-benda, atau realitas yang bisa dipersepsi. Pengetahuantidak lebih dari proses rekoleksi ide-ide yang telah ada secara bawaan melaluipengamatan terhadap benda-benda atau kejadian-kejadian empiris.
Berbeda dengan Plato yang berbicara tentang sesuatu yang ada secarahakiki dalam ide, Aristoteles murid dari Plato berseberangan dengan pandangan gurunya.Dia cenderung mengabaikan ide sebagai sesuatu yang ada secara sejati, dan mengatakanbahwa benda-benda dan kejadian-kejadian ada dan terjadi secara empiris yangbisa dilpersepsi merupakan realitas-realitas yang ada secara nyata, bukanfatamorgana. Dari pemikirannya ini lahir paham realisme. Realisme merupakan pahamfilsafat yang mengakui bahwa yang ada secara empiris adalah ada meskipun iatidak dipersepsi atau dipikirkan, sebagaimana nyatanya pemikiran yangmenghasilkan gagasan atau ide.
Ketiga tokoh inilah sebagai cikal bakal pengembangan ilmu pengetahuan,karena merekalah yang memulai berpikir mikrokosmos yakni memasuki alam danseisinya termasuk manusia. Aristoteles membagi filsafat menjadi empat : Logika,Filsafat Teoritik : metafisika, fisika dan matematika, Filsafat Praktik :politik, ekonomi dan etika, serta Filsafat Poetika yakni estetika[6] . Inilahlandasan ontologik ilmu pengetahuan dan sekaligus juga landasan epistimologik.Pandangan Aristoteles memetakan adanya konsep filsafat sebagai landasanpengembangan ilmu pengetahuan.
c.      Yunani Periode Setelah Trio Filosof Legendaris.
Gagasan trio filosofis ini diteruskan oleh filosof-filosof berikutnyasebagai upaya meneruskan dan mengembangkan pemikiran mereka. Tercatat adanyaStoisisme berbicara tentang etika, juga Epikurisme tentang etika. Selanjutnyayang paling berpengaruh adalah Neo-Platonisme filosof dari Mesir yang bernamaasli Plotenus (205-270 BC) yang merupakan pendukung Trio Filosof. Ia cenderungmengatakan bahwa seluruh kenyataan ini merupakan suatu proses emanisasi, yangberasal dari yang Esa. Yang Esa adalah sumber dari yang ada. Konsep ini banyakdikembangkan kedalam nilai-nilai dari doktrin agama. Sebab ada relevansinyadengan kaidah agama, untuk memperkuat doktrin agama digunakan argument akalseperti yang ada dalam pandangan Neo Platonisme. Jadi ilmu pengetahuan padasaat ini bukan hanya bergerak dari masalah makrokosmos ke mikroskosmos bahkanmelampaui pada hal-hal yang berada pada masalah metafisik. Zaman iniberlangsung hingga awal abad pertama masehi.

Dilihat secara sederhana, secara umum filsafat di jaman Yunani sebagaiawal mulainya filsafat secara akademik memiliki setidaknya karakter-karakterberpikir seperti dijelaskan di bawah ini:
a.      Pemahaman mitologis ke pemahaman rasional
Ciri mendasar dari filsafat pada awal kelahirannya di Yunani kunoadalah penggeseran cara memahami alam atau dunia dan realitas yang berkenaandengan manusia dan kehidupannya dari cara pemahaman mitologis ke cara pemahamanrasional. Melawan tradisi memahami alam dan persoalannya “dari luar” manusia,yakni selalu merujuk pada kepercayaan-kepercayaan mitologis yang ada dalammasyarakat Yunani yang menyembah banyak dewa-dewi, para filosof awal mencobauntuk memahami alam dan persoalannya “dari dalam”, yakni dari kemampuan yangada dalam diri manusia yang berupa akal.
Dengan percaya pada kemampuan rasio, mereka mencoba memberikanjawaban-jawaban spekulatif tentang asal-usul alam, tentang siapa manusia daneksistensinya di tengah alam semesta. Pergeseran ke cara berpikir dan memahamidunia melalui kemampuan rasional manusia itu sendiri secara otonom danindependen tanpa hegemoni pengetahuan di luar manusia yang sudah ada menjadiciri yang menonjol di periode klasik dalam sejarah filsafat ini. Munculnya carabaru ini menimbulkan ketegangan dan konflik antara masyarakat kelas dominanyang sarat dengan keyakinan mitologis-religius dan para pemikir dan kritikusyang dikenal sebagai filosof. Contoh nyata konflik ini adalah eksekusi matifilosof besar pertama Yunani, Socrates.
b.     Akal sebagai instrument otoritatif pemahaman
Para filosof awal Yunani mengenalkan bagaimana mereka memulai untukmempercayai akal yang ada dalam diri manusia dalam memahami misteri kehidupanmanusia. Akal menjadi instrumen otoritatif pemahaman manusia dalam menjawabpersoalan-persoalan manusia dalam hubungannya dengan alam dan dunia disekitarnya. Mereka lebih percaya pada kekuatan akal, bahkan Socrates sendirimeyakini dalam diri manusia terdapat kebenaran, yang ia bisa didorongtermanifes keluar melalui proses dialektik, bertanya dan menjawab, bertanya danmenjawab demikian seterusnya sampai hakikat kebenaran bisa dimengerti.
Socrates menyebut cara ini dengan cara seperti seorang bidan yangmembantu keluar bayi dari perut ibunya. Berpikir dialetik adalah cara membantumengeluarkan kebenaran yang sudah ada dalam diri manusia, atau dalam akalmanusia, yang kemudian cara akal menemukan kebenarannya sendiri ini populerdikenal dengan metode maieutik dialektis kritikal. Maieutika artinya kebidanan.Ibu Socrates berprofesi sebagai bidan, cara ibunya ini dipakainya untuk kontekspencarian kebenaran dalam dan melalui pikiran manusia. Dialektika berasal daribahasa Yunani, dialegesthai yang berarti bercakap-cakap. Kritikalberarti mengajukan keberatan-keberatan yang dipandang ganjil, kontradiktif, dantidak make sense atau masuk akal.
Dengan metode maieutik dialektis kritikal, dalam upaya menemukanhakikat kebenaran tentang sesuatu, Socrates melakukan percakapan dengan oranglain, bertanya untuk mendapatan jawaban, dan menyoal jawaban yang masih sulituntuk diterima dengan bertanya yang lebih dalam dengan berharap ada jawabanbaru yang lebih bisa diterima akal, demikian seterusnya. Proses ini membantumanusia mengeluarkan kebenaran yang ada dalam jiwanya sendiri. Apa yangdilakukan Socrates yang terpenting yang perlu digarisbawahi adalah menempatkanakal sebagai alat otoritatif dalam menemukan kebenaran atau dalam memahamihakikat realitas. Cara ini telah menradisi sebelumnya dalam diri Thales,anaximenes, Pythagoras, dan lain sebagainya, dan semakin menguat sesudahSocrates.
c.      Kosmosentrisme otonom
Filsafat Yunani awal lebih banyak berupa upaya menjawab persoalantentang alam semesta. Para filosof mencoba menjawab asal-usul alam, bahanterdasar yang darinya alam ini tersusun, apakah hakikat gerak itu sebagaimanamereka mengamatinya sebagai fenomena alam, dan seterusnya. Seperti telahdikatakan, mereka menjawab sepenuhnya bergantung pada kekuatan akal, bukanbergantung pada pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada dalamkepercayaan-kepercayaan mitologis masyarakatnya. Filsafat mereka bercoraksangat kosmosentris.
Coraknya secara lebih tepat disebut kosmosentrisme otonom.Kosmosentrisme karena berfilsafatnya berpusat pada persoalan alam semesta.Otonom karena dalam menjawab masalah-masalah tentang alam semesta para filosofmenggunakan kekuatan pemahaman rasional dalam diri manusia, tidak mengambilpengetahuan yang sudah ada di luar pikiran manusia. Mereka berpikir independendengan kekuatan akal manusia dalam memahami alam semesta.

3.     Filsafat dalam Periode Pertengahan
Periode pertengahan dari sejarah filsafat adalah periode antara Abadke-8 sampai dengan Abad ke-15. Periode pertengahan biasanya memasukkanpemikiran filosof-filosof seperti St. Anselm, St. Thomas Aquinas, Duns Scotus,William of Ockham, Maimonide, dan termasuk para filosof muslim, seperti IbnuSina, Al-Farabi, Ibnu Rushd, dll.[7]
Zaman (abad) pertengahan dikenal sebagai abad keemasan bagi duniaKristen dan dibalik itu dunia filsafat dan ilmu pengetahuan terjadi kemunduran(jumud) bahkan pada masa ini filsafat dan ilmu pengetahuan adalah identikdengan agama. Sebab agama (Kristen) yang bersifat dogmatik cenderung menolakkeberadaan filsafat dan ilmu, dianggap gerejalah sebagai pusat kebenaran (TheTrust is in The Church). Jadi ukuran kebenaran adalah apa yang menjadikeputusan gereja, gereja sangat otoriter dan otoritas gereja harus ditegakkan.
Ekses yang dirasakan pada saat ini adalah tidak adanya kebebasanberpikir seperti yang dialami pada masa Trio filosof dan hasilnya banyak parapemikir yang dijebloskan kedalam penjara seperti Galile Galilio, Cicero adalahilmuan dan pemikir kondang pada saat itu dan tidak ketinggalan adalahCopernicus seorang astronom.
Sedemikian berkuasanya dan dominannya gereja maka masa ini dikenal jugasebagai zaman Patristik dan Skolastik. Disebut zaman Patristik diambil darikata Patres artinya Bapa-Bapa Gereja, yang mana fase ini dikuasai oleh parateolog dan tokoh gerejani, seperti Augustinus (354-430 AC). Kemudian disebutSkolastik berarti guru[8], atausarjana yang menjadi pengajar seperti Thomas van Aquinas (1225-1274 AC) danBonaventura (1217-1274 AC).
a.      Pemahaman rasional ke pemahaman dogmatis religius
Abadpertengahan sering disebut sebagai jaman agama-agama. Agama-agama telah menjadicara pandang dunia manusia. Para filosof pada era ini memang tidak sepenuhnyamenolak berpikir rasional, namun mereka tidak mempercayai kebenaran akalkecuali sejalan dengan dogma-dogma religius. Mereka menempatkan dogma religiuslebih dulu daripada kebenaran rasional. Pemikiran rasional dalam periodePertengahan dari sejarah filsafat tidak berjalan otonom dan independen, dansebagai gantinya ia menjadi budak teologi. Salah satu karakter dasar darifilsafat Abad Tengah adalah ketiadaan kemandirian yang penuh dari akal, diabekerja sebagai pembenar dogma-dogma agama. Pemikiran rasional digeser olehpemahaman dogmatis religius. Sejarah telah memberitahu kita bagaimana kasusGalileo yang menyuarakan kembali teori astronomi heliosentrisme harusmenghadapi hujatan dan ancaman Gereja yang menetapkan teori geosentrismesebagai kebenaran dogmatis Gereja.

b.     Dogmatisme religius sebagai kebenaran otoritatif
Fakta rasiosebagai abdi dogmatisme teologis di Abad Pertengahan telah menempatkandogmatisme religius sebagai sebagai kebenaran otoritatif. Kebenaran rasionalyang dipandang tidak bisa dipegangi mendorong para filosof menggunakan akalsebagai alat pendukung dan justifikasi atas kebenaran dogmatisme religius yangtelah ditetapkan oleh para otoritas religius. Berfilsafat pada era ini adalahberteologi. Kritik terhadap dogmatisme religius merupakan suatu kesalahan.Padahal boleh jadi agamanya sendiri belum tentu mengatakan seperti yangdiberikan oleh hasil pemahaman religus, yakni suatu dogmatisme religustertentu. Kritik akal terhadap teologi tidak harus dimengerti menentangkebenaran religius, melainkan bisa dimengerti sebagai pelurusan kesalahanpemahaman religius. Namun, dalam era ini, dogimatisme religius telah menjadiukuran kebenaran yang harus diikuti. Ini merupakan kenyataan sejarah yang takbisa diingkari pada sejarah filsafat dan Gereja di Abad Pertengahan.
  
c.      Teosentrisme dan kosmosentrisme heteronom
Filsafat AbadPertengahan yang tabu melakukan kritik terhadap teologi atau dogmatismereligius yang dipegangi saat itu telah mendorong filsafat berkarakter pembenarteologi. Seluruh realitas dijelaskan dan dibenarkan oleh dogma-dogma agama, danfilsafat hanya berusaha menguatkan kebenaran dogma-dogma agama tersebut.Dogma-dogma religius diyakini sebagai benar yang tak boleh disalahkan karenadatang dari Tuhan. Filsafat di era ini, oleh karenanya dicirikan secarafundamental dengan teosentrisme, karena pusat filsafat mereka adalah teologi.Mereka juga mencoba menjawab persoalan-persoalan terkait dengan alam semestaatau kosmos seperti para filosof Yunani, hanya saja cara filosof-filosof AbadPertengahan menjawab persoalan-persoalan tersebut tidak menggunakan rasiosecara independen seperti halnya para filosof Yunani, karena mereka menjawabnyadengan menggunakan dogma-dogma religius yang ada. Kosmosentrisme pada era inibukan bersifat otonom, melainkan heteronom, yakni menjawab misteri alam denganmenggantungkan jawabannya pada jawaban yang sudah ada di dalam dogma-dogmaagama.


4.     Filsafat dalam Periode Modern
Periode modern dari sejarah filsafat biasanya dimulai darifilosof-filosof pada Abad ke-16 sampai Abad ke-19. Periode modern mulai darifilosof-filosof Abad ke-16 seperti Francis Bacon dan Thomas Hobbes; kemudianfilosof-filosof Abad- ke-17 seperti Rene Descartes, Baruch de Spinoza, danLeibnizt; lalu filosof-filosof Abad ke-18 seperti John Locke, George Berkeley,dan David Hume, dan akhirnya filosof-filosof Abad ke-19, seperti Immanuel Kant,Hegel, Schopenhauer, dan Nietzsche.[9] 
Filsafat modern membalikkan paradigma filsafat abad tengah,skolastisisme. Karakter dari filsafat abad pertengahan memandang alam semestadalam logika hirarkhi wujud atau konsepsi organis tentang alam semesta ini yangberujung pada Tuhan sebagai puncak dari hirarkhi ini. Segala penyingkapanpengetahuan dihubungkan dengan keberadaan Tuhan. Filosof-filosof modern tidakberarti menyalahkan begitu saja proses berfilsafat seperti ini, namun yangmenjadi pertanyaan besar mereka adalah ketidakterbukaannya pada cara-caraobjektif dalam melihat dan mengetahui alam dan kebebasan kritis manusia dalam mengupayakankebenaran.
Francis Bacon, misalnya, di masa kemunduran filsafat abad pertengahan,mengritik cara-cara mengetahui yang mencampuradukkan gejala-gejala alamobjektif dengan kepercayaan-kepercayaan mitologis dan religius. Cara-cara initelah membengkokkan ilmu-ilmu perbintangan dan planet-planet yangseharusnya  berupa astronomi menjadiastrologi; ilmu-ilmu alam yang seharusnya dibangun pada penyelidikan empirismenjadi ilmu-ilmu alam magis. Francis Bacon menawarkan cara mengetahui alamdengan mengamati gejala-gejalanya secara induktif. Menemukan hukum-hukum alamdari alam itu sendiri, sehingga manusia bisa menguasai dan mengontrol alam;bukan memahami alam dengan mengkaitkan dengan cerita-cerita mitologis sehinggamanusia di bawa pada ketakutan dan ketidakberdayaan pada alam.
Jika Francis Bacon bereaksi terhadap filsafat abad pertengahan denganmengambil fokus pada cara-cara induktif mengetahui alam, Réné Descartesbereaksi dengan mengambil fokus pada ketiadaan kebebasan manusia dalamberpikir. Dalam memahami realitas manusia selalu dipaksa tunduk padadoktrin-doktrin pengetahuan yang sudah ada, dan seolah potensi pengetahuandalam diri manusia sendiri tidak boleh diaktualisasikan berseberangan denganteori-teori pengetahuan yang sudah ada. Rasionalismenya dengan sloganfilosofisnya yang sangat terkenal, cogito ergo sum, aku berpikir makaaku ada, telah menggugah masyarakat Eropa waktu itu bahwa ada bergantung padamanusia itu sendiri selama dia mau berpikir. Sejak saat itu, subjektivismemenjadi ciri filsafat baru. Subjektivisme yang dimaksud adalah kesadaran barubahwa manusia adalah subjek realitas atau pusat realitas, menggantikan Tuhanyang selalu menjadi pusat pembicaraan. Kebebasan berpikir berkembang dankarenanya humanisme, paham yang mencoba menggali pengertian manusia dan maksudmenjadi manusia, berkembang pesat. Karena pikirannya inilah, kemudian Descartesdisebut-sebut sebagai bapak filsafat modern. Sebenarnya, Francis Bacon punpantas disebut sebagai filsafat modern dari segi tawaran barunya dalam mengertialam yang bukan lagi dalam logika organisisme melainkan mekanisme; yakni darimemahami alam yang hanya sekedar berupa hubungan antar wujud-wujud yangdigerakkan dan dihidupkan oleh Wujud Tertinggi berubah memahami alam dari alamsecara objektif dengan mencari hukum-hukum dan mekanika-mekanika alam secaraobjektif yang ditemukan dengan cara-cara induktif.
Bocheński menggarisbawahi filsafat modern dua prinsip fundamental,yaitu mechanism dan subjectivism. Mekanisme sebagai prinsip darifilsafat modern adalah pemahaman alam sebagaimana diinginkan oleh FrancisBacon. Yang perlu dikembangkan manusia dalam memahami alam dengan paradigmamekanisme adalah tidak lagi memperpanjang cara mengetahui alam sebagai diciptakandan dikuasai oleh Tuhan atau kekuatan-kekuatan mitologis darikepercayaan-kepercayaan animistik, dan sebagai gantinya, mengatahui alam denganmelihat alam dari alam itu sendiri, belajar dari alam untuk mengertihukum-hukum pastinya dan hidup dengannya. Subjektivisme yang dia maksudkanadalah pandangan yang mengalihkan manusia dari konsentrasi sebelumnya padaTuhan dan menggantinya dengan manusia atau subjek sebagai pusat perhatiannya.[10]
Dengan mengamati karakter pokok dari filsafat modern yang lahir darirespon kritikal terhadap cara berfilsafat Abad Pertengahan, dapat disimpulkanbahwa ciri-ciri dasar dari filsafat modern adalah sebagai berkut:
a.      Reformasi keagamaan
Filsafatmodern tidak akan lahir jika tanpa ada gerakan internal keagamaan yangmenentang hegemoni Gereja Abad Tengah. Dalam padangan para Kristiani yang melakukangerakan protes keagamaan, Gereja tidak hanya bermasalah dengan kebebasanberpikir, kebebasan berpolitik, dan kebebasan berilmu pengetahuan, namun jugabermasalah dengan kemurnian agama Kristen itu sendiri. Gerakan protes keagamaanini dikenal dengan gerakan reformasi keagamaan yang dipimpin oleh Martin LutherKing. Inti dari gerakan ini adalah purifikasi keagamaan. Kristen telah dinodaioleh Gereja penguasa waktu itu. Mereka bermaksud membongkar borok-borok praktekkeagamaan Gereja waktu itu yang menurut mereka telah menyimpang dari pesansubstansial dari agam Kristen. Gerakan ini kemudian memuculkan aliran keagamaanbaru yang dikenal dengan Kristen Protestan.
Kritik danprotes dari orang-orang beragama sendiri telah menggoyang hegemoni Gereja dari dalam.Gerakan reformasi keagamaan ini mengawali keruntuhan kekuasaan Gereja AbadPertengahan yang sangat dominan. Gerakan kritik dan protes ini memberi doronganyang kuat bagi komunitas lain selain agamawan, yaitu filosof, seniman, danilmuwan.
b.     Kebebasan ekspresi kreasi manusia dengan mengabaikantabu-tabu yang menyelimuti perkembangan pemikiran manusia
c.      Meningkatnya otoritas Ilmu (science) 
d.     Pergeseran otoritas pemerintahan: Negara-bangsamenggantikan gereja
e.      Pergeseran paradigma sosial: Feodalisme ke kapitalisme/labourintensive to capital intensive
f.      Humanisme liberal/manusia sebagai fokussentral/antroposentrisme
g.     Akal mengkondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrumentobjektivasi realitas/uniformisasi-homogenisasi nalar & nilai

5.     Filsafat dalam Periode Kontemporer

a.      Agama, ilmu, dan sumber pengetahuan lain: masalahdiversitas epistemologi
b.     Kebebasan ekspresi kreasi manusia denganmempertimbangkan nilai lingkungan dan tradisi
c.      Paradigma interkoneksitas antara Agama, ilmu (science),dan sumber pengetahuan lain  
d.     Dari nalar objektivisme-justifikatif ke nalarkritis-komunikatif
e.      Akal dikondisikan segala sesuatu/Akal sbg instrumentpemahaman tidak terlepas atau terkondisikan olehrealitas/diversitas-pluralitas  nalar& nilai
f.      Pergeseran sosial politik: Monokultulaisme kemultikulturalisme/nasionalisme ke internasionalisme



[1] ManuelVelasquez, Philosophy A Text with Readings, 7th ed. (Belmont,Albany, Bonn, Boston dst: Wadsworth Publishing Company, an InternationalThomson Publishing Company, 1999), 44-45.
[2] MiltonK. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy (New York: MacmillanPublishing Co., Inc., 1981), 1.
[3] MiltonK. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1.
[4] HarunHadiwjono, Sari Filsafat Barat I,(Yogyakarta, Yayasan Kanisius, 1980), 16.
[5] HarryHamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat(Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 1981), 36.
[6] LihatHasbullah Bakry, Sistematik Filsafat(Jakarta : Penerbit Widjaja, 1981), 12.
[7] MiltonK. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy,1
[8] LihatHarry Hamersma, Pintu Masuk ke DuniaFilsafat …, 38-39.
[9] MiltonK. Munitz, Contemporary Analitic Philosophy, 1
[10] I. M.Bocheńsky, Contemporary Eurepean Philosophy, trans. Donald Nicoll andKarl Aschenbrenner (Berkeley and Los Angeles: the University of CaliforniaPress, 1957), 2.

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Arsip Blog

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

Blog Archive

About

Featured Posts Coolbthemes