Monday, March 12, 2012

ETIKA DEONTOLOGIS IMMANUEL KANT


1.         Ajaran pokok etikadeontologis Kant

            Etikadeontologis adalah teori filsafat moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakanitu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan prinsip kewajiban yang relevanuntuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang mengikat'.Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalambukunya Five Types of Ethical Theory. Etika deontologis juga seringdisebut sebagai etika yang tidak menganggap akibat tindakan sebagai faktor yangrelevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu tindakan. (non-consequentialisttheory of ethics).

            Parapenganut etika deontologis, seperti Immanuel Kant (1724-1804) sebagaipelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu mengikat secara mutlakdan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil yangmenguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau"bertindaklah secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih duluapakah menguntungkan atau tidak, disenangi atau tidak, melainkan selalu dan dimana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya. Hukum moral mengikat mutalksemua manusia sebagai makhluk rasional.


            Menurutpaham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentukegoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moraldengan akibat baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohonghanya kalau itu menguntungkan si pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baikyang lebih besar dari akibat buruknya, akan merendahkan martabat moral. MenurutKant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh apabila ia secaraprinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Makakaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatusikap atau tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itumempunyai akibat baik atau buruk, melainkan apakah sesuai dengan norma-normaatau hukum moral atau tidak.

            Tujuanfilsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalamguna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusahauntuk menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budimurni, dan bukan pada kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakankerangka dasar prinsip dan peraturan yang bersifat rasional dan yang mengikatserta mengatur hidup setiap orang, lepas dari tujuan-tujuan dankeinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana pundan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalamprinsip-prinsip akal budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang.Suatu sikap atau tindakan secara moral betul hanya kalau itu sesuai dengannorma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat setiap orang yangberakal budi.

            Kantsangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi tugas itu sendiri dan bukandemi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunya Grundlegung zürMetaphysik der Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalahpernyataan bahwa yang baik sungguh-sungguh (tanpa syarat apa-apa) adalahkehendak baik. Ia sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokoktindakan moral, dan kemurnian ini nampak dari sikap mentaati kewajiban moraldemi hormat terhadap hukum/norma yang mengatur tingkah lakunya, bukan demialasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang mesti bertindak tidakhanya sesuai dengan tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugasdan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan tugas dan kewajiban moral karena itudianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain, dianggap tidak adakaitannya dengan moralitas.

            Karenatujuan menjaga kemurnian motivasi ini, maka Kant memberikan norma dasar moralyang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan apa yang secarakonkret merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isimaterial tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalamsituasi konkret. Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebutsebagai imperatif kategoris (perintah yang mengikat mutlak setiapmahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri). Rumusan pokokimperatif kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah tindakanberbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsipatau kaidah tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yangberlaku umum". Sedangkan rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormatterhadap manusia sebagai person atau pribadi yang bernilai pada dirinya sendiriadalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau memperlakukankemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain senantiasasebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagaisarana."

2.         Kekuatanetika deontologis Kant

2.1.      Memberi dasar kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaranmoral

            Denganmenekankan bahwa prinsip moralitas bisa diturunkan secara apriori dari akalbudimurni dan tidak ditentukan baik oleh objek tindakan, oleh akibat-akibatnya,maupun oleh kepentingan-kepentingan subjek pelaku, maka etika deontologis Kantmemberi dasar yang kokoh bagi rasionalitas dan objektivitas kesadaran moral.Seperti sudah pernah kita bicarakan, rasionalitas kesadaran moral menuntutbahwa penentuan benar salahnya tindakan atau baik buruknya kelakuan manusia itubukan hanya perkara selera atau perasaan belaka dari orang yang memberipenilaian, melainkan bahwa itu berdasarkan suatu prinsip yang nalar (masukakal). Keputusan moral itu bisa dan perlu dipertang-gungjawabkan sehinggakebenarannya dapat diuji oleh orang lain. Objektivitas kesadaran moral jugadijamin oleh etika deontologis melawan arus subjektivisme dan relativisme,karena prinsip yang secara apriori diturunkan dari akalbudi murni itu prinsipyang berlaku umum dan mengikat secara mutlak setiap manusia sejauh ia mahklukyang berakalbudi (rasional).

2.2.      Memberitolok ukur yang perlu dan penting untuk menilai moralitas suatu tindakan,            yakni prinsip universalitas

            Imperatifkategoris Kant sebagaimana dirumuskan di atas, kendati, seperti masih akan kitalihat di bawah, belum mencukupi sebagai tolok ukur penilaian moralitastindakan, sudah memberi salah satu unsur yang memang perlu dan penting, yakniprinsip universalitas. Tindakan yang secara moral betul setidak-tidaknya mestididasarkan atas prinsip yang tidak hanya berlaku untuk subjek pelaku tertentudan pada waktu serta kondisi tertentu, melainkan pada prinsip yang bisadisetujui dan berlaku untuk semua orang di mana dan kapan saja mereka berada.

2.3.      Menjaminotonomi dan keluhuran martabat manusia

            Etikadeontologis Kant yang menekankan peranan akalbudi sendiri sebagai sumber hukumyang wajib ditaati secara mutlak, menolak segala bentuk heteronomi ataupenentuan dari luar. Akalbudi praktis atau kehendak yang rasional bagi Kantadalah otonom, karena ia tidak tunduk pada hukum lain selaian yang telahditetapkannya sendiri. ["Autonomy of the will is that property of thewill by which it gives a law to itself (irrespective of any property of theobject of volition). This then is the principle of autonomy: never to chooseotherwise than so that the maxims of one's choice be also comprehended in thesame volition as universal law" -[1] Kantbarusaha menghindarkan bahaya heteronomi etika teonom dengan menempatkan Tuhan,sebagai sumber hukum yang tertinggi dan tujuan akhir yang bersifat mutlak, diluar ruang lingkup moralitas. Hukum-hukum Tuhan secara moral mengikat mutlaksejauh itu disadari begitu oleh akalbudi. Adanya Tuhan dalam filsafat Kanthanyalah salah satu postulat untuk moralitas dan bukan bagian hakiki dankonstitutif darinya.

            Etikadeontologis Kant juga menjamin keluhuran martabat manusia, karena sepertinampak dari perumusan kedua imperatif kategoris di atas, manusia mestidiperlakukan sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan tidak pernah melulusebagai sarana. Setiap manusia sebagai pengada rasional (rational being)adalah seorang pribadi (a person) yang bermartabat luhur. Manusia dalametika Kant tak pernah boleh diperalat untuk suatu tujuan-tujuan tertentu yangpencapaiannya mengorbankan manusia tersebut. Dalam hal ini etika Kant misalnyabisa berfungsi kritis terhadap sikap utilitarian yang sering muncul sebagaiargumen bagi pembenaran tindakan penggusuran atau pengorbananseseorang/kelompok demi kepentingan orang banyak.

3.         Kesulitanpokok etika deontologis Kant

3.1.      Tidakmemberi tempat bagi adanya dilema moral dan tidak bisa memberi jalan keluar        bila terjadi konflik prinsip moral

            Dilemamoral adalah situasi ketika seorang pelaku S secara moral wajib untuk melakukanA dan sekaligus juga secara moral wajib untuk melakukan B, namun ia tak dapatmelakukan keduanya sekaligus, entah karena dengan melakukan A itu berarti iatidak melakukan B, atau karena keterbatasannya sebagai manusia tidakmemungkinkan untuk melakukan keduanya sekaligus. Sebagai contoh misalnya dalamceritera drama Sophocles yang berjudul Antigone, raja Creon menetapkanbahwa upacara penguburan untuk Polyneices kakak Antigone dianggap melawan hukumsetempat yang melarang memeberikan penghormatan terhadap seorang pengkianatseperti Polyneices. Dengan demikian Antigone telah melanggar kewajibannyaterhadap negara. Di lain pihak sebagai adik kandung Plyneices ia secarakeagamaan dan kekeluargaan berkewajiban untuk melakukan upacara penguburan itu.Dalam ceritera sendiri Antigone memilih untuk mengikuti kewajibannya yangkedua, tetapi sebenarnya kasus itu bisa merupakan contoh adanya dilemma moral.Etika deontologis Kant menganggap bahwa orang tidak mungkin terikat oleh duakewajiban moral yang sama. Bagi Kant kalau Antigone wajib secara moral untukmelakukan upacara penguburan untuk kakaknya, ia tidak terikat oleh kewajibanmoral untuk tunduk pada peraturan negara yang telah ditetapkan oleh rajanya.Menurut dia salah satu kewajiban itu pasti keliru. Dalam praktek hidup, halnyatidak sesederhana itu. Bahkan seandainya orang akhirnya terpaksa memilih salahsatu, tetap dia merasa bahwa kewajibannya yang lain bukanlah hal yang begitusaja dapat diabaikan.

            Karenaetika deontologis Kant tidak memberi ruang pada adanya dilemma moral, maka iajuga tidak bisa memberi jalan keluar bila terjadi konflik prinsip moral.Misalnya, seorang dokter berdasarkan prinsip informed consent wajibsecara moral memberitahukan kepada pasiennya apa yang menjadi penyakit diasesungguhnya, sehingga ia perlu menjalani treatment tertentu. Akantetapi pasien tersebut juga mengidap penyakit jantung dan ada kemungkinan besarbahwa pemberitahuan apa adanya mengenai penyakitnya akan menyebabkan diaterkejut dan malah mati mendadak. Dalam hal ini prinsip informed consentdan sekaligus prinsip larangan untuk berbohong, bertabrakan dengan prinsiphormat terhadap hidup manusia. Karena dalam sistem etika deontologis semuakewajiban moral mengikat setiap makhluk rasional secara mutlak, maka dalamkasus tersebut dokter berhadapan dengan suatu dilema moral yang sulit dicarijalan keluarnya. Etika deotologis tidak memberi tempat bagi penentuan kewajibankongkrit berdasarkan pertimbangan akibat tindakan.

3.2.      Kemutlakannorma tanpa kemungkinan pengecualian dengan mengindahkan akibat          tindakan, sulit diterima

            Teorietika deontologis tidak mengenal kekecualian; ada norma ada kewajiban yangmengikat mutlak; jadi harus dilaksanakan entah apa pun akibatnya. Kant misalnyamemberi contoh bahwa orang wajib untuk mengatakan yang benar, meskipun dalamkasus ada seorang pembunuh bayaran yang mencari seseorang yang saya tahu dimana dia bersembunyi. Argumen dia yang mengatakan bahwa kalau kita berdustadengan maksud untuk melindungi atau menyelamatkan nyawa orang itu lalu menunjuksuatu tempat lain, padahal kebetulan orang yang dimaksud tanpa sepengetahuankita sudah pindah ke tempat yang kita tunjuk itu, sehingga si pembunuh tadiberhasil menemukan dan membunuh dia, kita salah dua kali: pertama melanggarkewajiban untuk berkata benar, dan yang kedua menyebabkan orang itu matidibunuh. Sedangkan kalau kita mengatakan sebenarnya, andaikan orang itu laluterbunuh, maka pembunuhan itu bukanlah karena kesalahan kita. Argumen inirupanya tidak begitu meyakinkan.

3.3.      Imperatifkategoris Kant melulu formal, hingga tidak membantu mengerti kewajiban           mana yang secara konkret mengikatseorang pelaku moral

            Denganmengembalikan semua norma norma kepada satu prinsip saja, yakni imperatifkategoris, Kant bisa menghindarkan diri dari adanya konflik norma, tetapi diatidak berhasil untuk menunjukkan bagaimana dari satu norma dasar yang melulubersifat formal itu dapat disimpulkan norma-norma material konkret yang wajibdiikuti. Imperatif kategoris hanya menegaskan apa yang tidak boleh dilakukan(misalnya: jangan ingkar janji, jangan dusta, jangan bunuh diri etc.), bukanapa yang secara positif perlu dilakukan. Mengenai kegiatan-kegiatan apa yangharus dilakukan, tujuan-tujuan mana perlu dikejar, imperatif kategoris tidakmemberi keterangan apa-apa. Moralitas dalam hal ini lalu hanya menetapkanbatas-batas ruang lingkup kegiatan hidup kita, tetapi tidak memberi arah.Imperatif kategoris Kant memberi tolok ukur untuk menguji benar tidaknya suatukaidah tindakan, tetapi tidak membantu mengetahui dari mana seorang pelakumoral memperoleh kaidah yang mau diuji tersebut. Dengan demikian moralitasdalam teori etika Kant mengandaikan adanya suatu praktek moral yang sudahberlaku.

4.         Keberlakuanprima facie

            Salahsatu jalan keluar dari konflik prinsip moral dalam teori etika deontologis Kantditunjuk oleh Sir W.D. Ross (1877-1971). Ross membedakan antara kewajiban yang sungguh-sungguhberlaku. Menurut Ross, semua kewajiban moral memang berlaku tanpa kekecualian,tetapi hanya prima facie. Berlaku prima facie berarti: berlaku kalau masalahnyahanya dilihat dari segi kewajiban itu saja, jadi kalau tidak ada alasan-alasanmoral dari segi kewajiban lain yang perlu diperhatikan. Dengan demikian suatukewajiban hanya mengikat, kalau tidak ada kewajiban lain yang juga mengikat.Kalau ada kewajiban yang bertentangan, orang yang bersangkutan harus memilihmenurut keinsafannya sendiri, dan untuk itu tidak ada peraturan lagi. Jadisuatu norma moral dengan sendirinya hanya berlaku prima facie, tidaksungguh-sungguh. Manakah kewajiban yang sungguh-sungguh berlaku bagi seseorang,artinya yang betul-betul mengikat dia dalam batin, tidak dapat dipastikansecara teoretis. Jadi kita secara teoretis hanya dapat mengatakan norma manasaja yang berlaku dan sejauh mana kekuatannya, tetapi bagaimana suatu tabrakanantara dua norma yang seimbang dipecahkan hanya dapat disadari dan diputuskanoleh yang bersangkutan, jadi yang berada secara konkret dalam situasi itu. Dengandemikian teori deontologis menurut paham Ross juga menjamin apa yang menjadiinti usaha Etika Situasi: bahwa tidak mungkin suatu masalah konkret dapatdipecahkan seratus persen dari balik meja saja.

5.         KritikHegel terhadap teori moral Kant

            Kritik Hegel terhadapteori moral Kant dapat ditemukan dalam bukunya:
(1) Phenomenologie des Geistes(Fenomenologi Roh), pada bagian yang membicarakan tentang "Akalbudi"('Akalbudi sebagai pemberi hukum', 'Akalbudi sebagai hakim atas hukum', danpada bagian tentang "Roh", waktu bicara tentang 'Moralitas'.
(2) Philosophie der Recht

            BagiHegel teori moral Kant yang menekankan otonomi kehendak manusia yang rasionaldan yang memandang akalbudi sebagai pemberi hukum merupakan teori yang cukupmaju dan lebih memadai daripada misalnya teori moral Hedonisme ataupunUtilitarisme. Pengertian Kant tentang norma moral sebagai 'tugas' yang mengikatmutlak dan universal setiap manusia sebagai mahluk rasional bagi Hegelmerupakan suatu pengertian etika yang benar. Dalam pola pemahaman Hegel, yangmemandang teorinya sendiri sebagai suatu sintesis, teori moral Kant merupakanantitesis, sedangkan tesisnya adalah tatamoral tradisional sebagaimanaterungkap dalam adat kebiasaan Yunani kuno (the Greek immemorial customs).

            Dalamtesis, unsur isi atau substansi moral, sebagaimana terungkap dalam tradisi yangsudah berabad-abad berlaku, sudah terkandung, tetapi kesadaran individu belummuncul, sehingga individu tenggelam dalam moralitas kelompok. Dalam teori moralKant, sebagai antitesis, kesadaran moral individu sudah muncul, bahkanmoralitas dalam pemikiran Kant pada dasarnya ditentukan oleh subjek yangberakal budi. Akan tetapi, dengan prinsip moralnya yang melulu bersifat formal,isi atau substansi moral sebagaimana terungkap dalam tradisi yang menjaminkelangsungan suatu komunitas, oleh Kant kurang diindahkan. Dalam sintesis,Hegel bermaksud untuk memberi tempat pada otonomi dan kesadaran individusebagai warga suatu komunitas, tetapi sekaligus individu-individu tersebut tidakberdiri sendiri-sendiri melainkan merupakan bagian organis suatu komunitasdengan nilai-nilai dan tujuan yang disetujui bersama.

            Secaragaris besar kritik Hegel terhadap teori moral Kant bisa dirinci menjadi dua.Pertama, kritiknya atas prinsip dasar moral Kant (imperatif kategoris) sebagaiterlalu formal mengandung bahaya ke arah individualisme subjektif atauliberalisme. Dalam teori etika Kant, moralitas didasarkan atas penentuanakalbudi murni. Hukum moral diturunkan secara apriori dari akalbudi, lepas darisegala kondisi empiris. Hanya akalbudi lah yang menjadi otoritas yang berwenanguntuk menentukan dan mengevaluasikan apa yang secara universal baik untukdilakukan oleh pelaku moral. Hegel berpendapat bahwa akalbudi sebagai prinsipyang melulu abstrak tidak dapat secara syah mengatur tingkah laku. Tidak betulbahwa akalbudi murni bisa secara langsung mengenali apa yang berlaku secarauniversal dalam situasi konkret.

            Karenaimperatif kategoris itu melulu formal, maka berdasarkan prinsip tersebut seorangpelaku moral tidak dapat menentukan secara jelas apa yang dalam situasi konkretmesti dia lakukan. Karena kekosongan ini, maka dalam keadaan konkret,seringkali lalu apa yang dianggap sebagai kewajiban objektif sebenarnyahanyalah apa yang ditentukan oleh subjek pelaku tindakan itu sendiri. Disinilah terkandung bahaya jatuh ke dalam individualisme subjektif. Bahaya inisemakin menjadi lebih tajam dengan prinsip Kant yang sangat menekankan kehendakbaik sebagai penentu moralitas tindakan. Tanpa memperhatikan kontekssosial-historis yang merupakan medan konkretisasi penentuan akalbudi, adanyakehendak atau maksud baik dari si pelaku moral saja tidaklah mencukupi.Misalnya tidak jarang penentuan-penentuan dan pembatasan yang diberikan olehorang tua terhadap anaknya, ataupun negara terhadap masyarakatnya, diberikandengan kehendak baik, tetapi akibatnya malah fatal, karena kondisi faktualempiris tidak diindahkan.

            Prinsipuniversalitas sebagai pedoman untuk menilai apakah suatu kaidah tindakan bisa dibenarkansecara moral, sebagaimana dikemukakan oleh Kant, juga belum mencukupi untukdapat dipakai sebagai pedoman menentukan tindakan mana yang wajib diambil.Prinsip tersebut seringkali juga tidak effektif, karena tidak semua kaidah yangbisa diuniversalisasikan dengan sendirinya merupakan suatu kaidah moral atausuatu kewajiban yang mengikat. Sebagai contoh misalnya, kaidah untuk menggosokgigi terlebih dulu sebelum mandi dan bukan sebaliknya dapat saja dijadikankaidah yang berlaku umum, tetapi kaidah itu bukanlah kaidah moral dan bukanmerupakan suatu kewajiban yang mengikat setiap orang.

            Pokokkritik Hegel yang kedua menyatakan bahwa teori moral Kant dengan ketigapostulatnya membawa ke dualisme yang bersifat kontradiktif. Menurut Hegelpemahaman Kant akan moralitas sebagai penekanan (suppression)kecenderungan kodrati, karena memandang kecenderungan kodrati sebagai sesuatuyang melulu negatif atau irrasional, membawa ke pemahaman dualistik tentangmanusia. Hegel mengakui bahwa kadang-kadang ada pertentangan antara akalbudidan dorongan-dorongan kodrati (termasuk keinginan-keingininan dan nafsu-nafsu),antara hukum moral yang berlaku umum dan keinginan masing-masing individu.Kendati begitu, tidak semua dorongan kodrati itu jahat dan perlu ditekan (suppressed).Dorangan-dorongan tersebut memang perlu disalurkan dan diatur oleh akalbudi,tetapi tidak dimatikan. Manusia dalam teori moral Kant  terpecah atau hilang kesatuannya sebagaipribadi, karena ada pemisahan antara diri manusia empiris (the empiricalself) dan diri manusia moral (the moral self).

            MenurutHegel postulat-postulat moralitas dalam Kant membawa ke situasi kontradiktif.Postulat pertama akan adanya keabadian jiwa untuk mengalami harmoni antaramoralitas dan kodrat. Pelaksanaan kewajiban moral di dunia ini tidak dengansendirinya membawa kebahagiaan. Seandainya jiwa tidak abadi, tetapi habisdengan habisnya kehidupan di dunia ini, maka hidup menjadi tragis. Daripostulat ini nampaknya Kant mengharapkan adanya kebahagiaan. Di lain pihak iamenekankan bahwa pelaksanaan kewajiban moral, untuk menjaga kemurnian motivasi,harus melulu atas dasar sikap hormat terhadap hukum atau demi kewajiban itusendiri. Si pelaku moral harus mengalahkan segala keinginan kodrati, termasukkeinginan untuk bahagia. Tetapi supaya kewajiban bisa dilaksanakan pelaku moralperlu merasa bahagia dalam melaksanakan kewajibannya. Pelaksanaan kewajibansenantiasa membawa rasa bahagia pada si pelaku. Menolak adanya dorongan ataukeinginan kodrati untuk bahagia samasekali, sama saja menggagalkan apa yangdiinginkan si pelaku moral tersebut.

            Postulatkedua adalah adanya kebebasan; dalam kaitan dengan ini Hegel menunjukpertentangan antara penentuan akalbudi dengan kecenderungan rasa sebagai suatuhal yang sentral dalam moralitas Kant. Hidup moral = hidup bebas = sepenuhnyamenentukan diri berdasarkan prinsip akalbudi. Kontradiksinya menurut Hegelterletak dalam pemikiran berikut. Di satu pihak, setiap orang wajib untukberjuang mencapai kesempurnaan dengan sepenuhnya hidup menentukan diri meluluberdasarkan prinsip akalbudi dan berjuang menundukkan segala kecenderunganperasaan. Di lain pihak kalau kesempurnaan/ kebebasan penuh ini tercapai,moralitas sudah tidak ada artinya lagi, karena inti moralitas justru terletakdalam kenyataan bahwa ada konflik antara penentuan akalbudi dengankecenderungan perasaan. Tugas untuk menjadi sempurna rupanya suatu tugas yangterus tidak ada habisnya.

            Postulatketiga, mengenai adanya Tuhan sebagai penjamin keluhuran pelaksanaan tugas dan penjaminkebahagiaan bagi mereka yang bertindak moral, karena Tuhan pada dasarnyapenguasa segala hukum alam semesta. Postulat ini, menurut Hegel, bertentangandengan usaha Kant untuk menekankan otonomi moral melawan segala bentukheteronomi, termasuk heteronomi etika teonom. Sebab, dengan postulat akanadanya Tuhan yang diharapkan sebagai penjamin kebahagiaan bagi mereka yangbertindak moral karena Tuhan merupakan penguasa hukum alam semesta, apa yangsemula dimaksudkan sebagai otonomi ternyata pada akhirnya jatuh ke heteronomi.


        [1]Kant, FundamentalPrinciples of the Metaphysics of Morals, Translated by Thomas K. Abbottwith an introduction by Marvin Fox ( New York: The Bobbs-Merill Company, Inc.,1949), p. 57.

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

About

Featured Posts Coolbthemes