Monday, July 4, 2011

SENI, BUDAYA INDONESIA, DAN PERKEMBANGAN IPTEK DALAM PANDANGAN ISLAM




Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpangtindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandanganyang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pulayang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkalimembingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupankita sehari-hari.
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya denganbelajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) .Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yangterdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistemreligi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karyamanusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsurkebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukaruntuk berubah.

Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil darikeseluruhan gagasan dan karya manusia.Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalamsejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalamsejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit,ia berproses dalam sejarah
Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam.Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme,dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk darikerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidakdapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teoritersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberikesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikankeleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.

Islam dan Kebudayaan
Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaankepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii).Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihatalam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untukmenjelaskannya.
Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”.Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yangkemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yangditurunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akalbudi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkankepada teori Kuntjaraningrat di atas.
Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah.Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusiauntuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karenaakal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal.Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
makainsaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha Besarnja JangAda itu. Maka menjerahlah dia dengansegala rela hati. Penjerahan jangdemikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).
Lebih jauhSyed Naquib Al-Attas menyatakan:
Makadengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yangbiasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapatdikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnyamerupakan keagamaan belaka— bukan hasilrenungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikandirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti katayang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagiMahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dandasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, danamalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandangsebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkantimbulnya kebudayaan Islam, dan bukansebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agamaIslam(vi).
SementaraProf. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:
Di Barat, agamaadalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan olehagama(vii).
Islambukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd AbuZayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yangberdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.
Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidupyang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Olehkarena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalambahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam lial-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di atas, kitadapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pundapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islampula.
Sebagai sebuah kenyatan sejarah,agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilaidan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukankebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yangfinal, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpakebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpakebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dankebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhikebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalahkebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesiamempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan danhajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbolagama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai duapersamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanyamudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmusosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenaikonstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tatanormatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia(dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesanreligiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan,sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agarsesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anakyang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqahuntuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yangdikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dancara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehananak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan.Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalamtahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapiorang yang meninggal [3].
Oleh karena itu, biasanya terjadidialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna(spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal iniberubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adatistiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyatyang bersifat absolut.

EpistemologiPribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secarageneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an.Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yangnormatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasaldari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak adalagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakatmuslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diridengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri?Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan darikekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidakhilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindaripolarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidakterhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikanagama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalarkeagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, sertaberusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama danbudaya.
Pada konteks selanjutnya, akantercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya,dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘IslamMurni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam diseluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragamaninterpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yangberbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengahsebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalamihistorisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat daripraktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan olehKuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukuperat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agarmanusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahamanini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dansebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupanmanusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia inijelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluqyang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawabandari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkaitdengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadikunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalamiperubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘IslamPribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagaiancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapidilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga,‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadiajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpamelihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigiddalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘IslamPribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentukpemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkanidentitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologikultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7],yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yangmemusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapattersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopangoleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagiterciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islampribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan inipenting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacanapembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telahmenuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yangtelah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahlibid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkambagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufimeyang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentangkonfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Sepertidiketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyaikecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh seringmenimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktrisresmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan iameremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulahpenguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untukmemadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itumenyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demakmenghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun padaakhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme danmistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. WalaupunKuntowijoyo[8]menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antarakeyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yangdicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktorkekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yangdiusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quokekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itumembahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangansosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkankelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuahagenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigmmasing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyaipemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yangkomprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampaikapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalampandangan Mark R. Woodward[9]tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watakal-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secarakomprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspekkeagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitukata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melaluipenafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an danSunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafatdan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspekdoktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11]mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yangpokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atauapa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuatmenunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosialkeagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung keNabi[12].Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnyaprinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulangbentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujukpernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasiinpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkanuntuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya denganhal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritasSunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu daritujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukanteologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses“pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpaterjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dantemuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enamkumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an,merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadismemberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusitradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinyaprinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkantradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun danmenafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untukskripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad).Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agamapemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaranpenafsiran.
Sama halnya dengan peranpenafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14]melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arabtas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensiRomawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an,(2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 :68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’anatau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah lakukeagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama denganpenggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkanperdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentralal-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan“dari beban yang menyusahkan”.[15]Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkandalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa(javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungandengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwabentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorongberkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untukmenjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalammempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satukriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikandi sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikirandan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaranagama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olahagama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama saratdengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana adadialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di siniIslam Pribumi menemukan keabsahannya.

 

Dakwah danTradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsikebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yangpas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalamperspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama,walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia memangtelah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehinggaapa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karenaIslam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagiadat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidakperlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itudilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam kedalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang menggantikebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia jugatidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islamdi Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan TimurTengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam danmana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbinganAllah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukupcerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu.Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untukmengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrahke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dantetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain,Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungandengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan)atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjidpertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisandari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budayalokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunangereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidakmemindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempatlahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahaminilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halusdalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilaibudayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengansebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agamatersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dankemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yangdibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyakmenciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir,tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifanmemasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yanglebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam diJawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karenaorang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusanhati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam dimasa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektikaagama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalamperspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam,karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokalsetempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasibudaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satucontoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi denganajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi olehIslam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan danyang lainnya.
Dialektika antara agama dan budayalokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau diCirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakansatu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia,upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkanajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabiyang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untukmemperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain)sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yangdemikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untukmengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. MenurutKuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasiuntuk Aksi,[18]sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa strukturitu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat,bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akanmemberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya.Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanyasebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modusproduksi.
Berbeda dengan pandangan Weberyang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sinidapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudutpandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat.Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubunganmakna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usahamerumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala(ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premisWeber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atauditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakanbahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masihsama.
Demikian pula dengan ritus-ritussemacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua padalevel penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atasnilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kataini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya.Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan,tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain hightradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika inginditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yangniscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisitahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrubilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yangdalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbolkebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. DanKuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyakdalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyakmenikmati agamanya.
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa masuknyaIslam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalurkultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para saudagar Arab danGujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di wilayah-wilayah pesisirNusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen sejarah membuktikan bahwapada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah nusantara ini. Bahkandiasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara kerajaan-kerajaan diNusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan Tiongkok telah terjalindengan baik. Meskipun secara pelan, justru para penyebar Islam itu tidakmemiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu ekspansi politik. Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan terjadinya perebutan suatuwilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan seperti yang terjadi di TimurTengah.
 Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik dengantradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan ajaranserta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke pusat-pusatkekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat dekat denganraja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah mengantarkanWalisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya. Islam telahmerambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh Nusantara.Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islamnyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forumpengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya,yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkandarah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak, tepatnya didaerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan penguasaan wilayahitu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan momentumnya menjadisebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit. Seketika itu jugaWalisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V menjadi rajanya.Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertamadi Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu benar-benar menjadikekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam, Timur Tengah.Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang cukup penting,tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan Islam yangkemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya. Benar,pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak ditemukan datasejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau menerapkan syari?atIslam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, kenapabukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden Fatah yang masihmemiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus diperjuangkansecara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk menjalankanperilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca bagaimana bentukkerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses saling mengambil,belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi budayanya. Parawalisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk keberagamaan bagi rakyatdengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya saat itu. Munculnya kasusSiti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks penyelarasan yang memang saat itusangat penting bagi komunitas muslim yang masih baru terbentuk. Prosespenyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun penekanannya lebih padakesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi masyarakat yangberbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan strategiakomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-prosesinkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di Samudera Pasai,Sumatera  dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di Sumateramemiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat. Prosesakomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan toleransi yangdikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang terjadi lebihdisebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali lagi, tidak adadokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara paksa dengankekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dantelah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demakadalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atauatap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa praIslam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijagamemotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahapkeberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baruberiman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnyasyariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) denganjalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitekturasing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleranterhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikianjuga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya IslamTimur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan.Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budayadapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelasterlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitekturkhas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai bercokol di bumiNusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis bagi mereka.Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan, kekerasan danpenguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan perlawanan.Namun, dalam  konteks penyebaran Islam tetap melakukan proses-prosesinkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya yang ada dibumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi perkembanganIslam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis menyikapi parakolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu kerajaan diNusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakatIslam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis kemudian mengarahke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi keberagamaanMuhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak kolonialis yangtelah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika terjadiperdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan syari?atIslam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian) Islamdan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harusmenyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum 1945 yangdidirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalumengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yangingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakandan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidakperlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam padam. Sejarahmencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai daerahdi Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka kembali ketikaarus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap komunitasIslam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan Islam diIndonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an kebijakanPancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas menunjukkan bahwapandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai fenomen modernitaspaling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari bentuk Islammelainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan sebagai alternatifdari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling siginifikan antaramodernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah apakahmasing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu dalamkonteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan yangesensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan tuntutanorang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahanpernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dankepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagiberlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran yang pentingsebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren adalah salahsatu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalammasyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur, sebuahkelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri sebagaibagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya dipedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional,maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya.Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang diperhitungkankarena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok tradisionalis yang cukupbanyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan kekuatantradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala kemodernan.Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan menerimaPancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam AhlusunnahWaljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompokIslam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan kerasmenyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yangdilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihakmemberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan dilain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan bahwaseolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yangrepresif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untukmemilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung dibawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harusmengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatifuntuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntutkemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyatamemiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU.Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apayang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruhekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasiapapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU  lebihmengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisilain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para ulamatradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus menerusoleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda melakukanrepresi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara kalanganIslam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek keagamaan. Semuaini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat luas, yaitukemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik, sertakegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat maupun dalampertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti oleh sebagianbesar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam modernis danIslam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam yang sedanghangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional sehubungandengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa KemalisRepublik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi Islamuntuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan bahkanpengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal yang jugadipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama mayoritas diIndonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang penetrasi budayayang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di dalamnya antaradoktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan tata nilai lokalyang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama nabi Muhammadtersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang penampakan historisnyapada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh gaya dan corakkehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami ekskelektisasikultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai agama masyarakatIndonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di Indonesia?maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis keras telahmewarnai halaman  sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar jihad dandalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring wajah Islamdi Indonesia menjadi garang dan  radikal. Sehingga banyak kalanganmenyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia.Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendungfenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yangsecara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an dan Hadissebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa masalah ketikaterbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab sendiri danbangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup bervariasi.Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Persebaran Islamtelah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjangsehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan demikian, variasikeberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami dan menafsirkanteks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam historisitas peradabanIslam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak disertaidengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi (keberbedaan)selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta sosial ini ternyata jugasangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan persebaran tradisikultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya, pandangan universalismeIslam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya sesuai tradisi kulturalArab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud untuk diterima tradisikultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values) yangmenyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah bahwa pesan yangdibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam jugamerupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Olehkarenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir sebagaiproduk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehinggakemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal adalahIslam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktuitu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang disana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu diyakini wahyu Tuhan yang universal,yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman,problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragamanmasing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justrukedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagaiuniversal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokalsebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkanIslam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahamidi dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.? Sehingga klaimstandarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada, akan tetapiIslam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia maupun Islamdi Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa karakteristiknya tentusangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain meskipun subtansialisnya sama.Karena tradisi merupakan domain Islam historis, maka sejarah telahmengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu dengan proses-p9rosespemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks itu sehingga telah membentuksuatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa dipertahankanatau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam bentuknya yang ada,sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari peraturan-peraturanhidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial tertentu yang sudahketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya. Tetapi masih perluditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern untuk memodifikasisyariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental tanpa, padakenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada riwayat-riwayat hadistradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka tersebut. Namunriwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an semenjak alQur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia, sebagaitafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh manariwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan darial-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkanharapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yangdidukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang serupa jugaterjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup menyeluruh yangdikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat adanya cara yangberbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya nada atau gayayang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja diasimilasikan dengangaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral sebagai sebuah budaya yangmenyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas, integritas budayanya sebagaisuatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan cara menelusuri semuaranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai fondasi-fondasi yang tidak bisaditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian dijalani sebagai Islam, dalamhal-hal tertentu, malah melanggar integritas kehidupan Islami: yakni,ia ternyata tidak konsisten dengan prasangka-prasangka budaya yang lebihfundamental dari Islam, ketika Islam telah dikembangkan; dan karena itu, mautidak mau ia menimbulkan konflik yang akan membutuhkan semacam resolusipsikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang darisudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalamimplikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi.Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akanpernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satuwaktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam danpandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural,atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengansendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu menjadi semacam"penengah" di antara umat agama-agama lain dan dituntut mampumengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelompoknyasendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagaitetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yangkritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi danpenguatan civil society tampaknya harus terus mendapat perhatianserius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkanakhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atauorganisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror,eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis kebangsaan dan minimnya basiskultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadarannasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekatpolitik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal inidemikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpamemberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitasdengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan kontekssosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalamberagama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awaltahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masihberkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahanOrde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat melihatkecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama,kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua,kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untukmenjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakatdan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baruIslam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihattidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yangdiusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskangerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkansyariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat meresponsnilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratisdan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkanfrustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakanfundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untukmendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilaidemokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisistersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup, membawa pengaruhmunculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang demokratis. Di antaraharapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah berdirinyapartai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah 48 buah;dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagiandari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegasmenggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masukdalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidakmau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umatsecara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan sendirinyamenjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang halini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta memberikanpendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini juga bisamembawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnyauntuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem danbudaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampakgejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh paratokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini adakalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money politics;dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang untuk mengikutipartai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan penyerangan fisikterhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi dalil-dalilagama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai tertentu adalahpartai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa, dansebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak memisahkan antaraagama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkanaspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun,seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya yangbenar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang tidak proporsional.Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan, hal ini seharusnyahanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar menunjukkan kemaslahatandan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap persoalan yang masihdiperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable, hanya untukmen-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun masyarakat umummemegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang terlibat dalampolitik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politikini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait dengan pembinaan akhlak ataumoralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka seharusnya melakukan tugas: (a)tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan di antara warga negara,(b) menghindari upaya "mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasisikap mereka, (c) tidak mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkanemosi dan agresivitas massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agamaras dan antargolongan (SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memangbelum dewasa dalam berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis.Tugas-tugas ini akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujurdan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetapmemiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudandari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa melakukan tindakanpolitik meski dengan jalan non-politik (political action in thenon-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amrma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengankomitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalammelakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yangberlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteksini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madaniyang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan paradigma perjuanganIslam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalambahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), ditengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuanganulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik di Tanah Air.Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengansegala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar kembali kehabitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau makelarbudaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi sebagaikekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yangmampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakanmasyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk membentengititik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengankeseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyangga ataupenengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjagaterpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat memiliki basis yangkuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil societymelalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaranhak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama sebagai agenpenguatan civil society. Karena ciri pokok civil societyadalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan tersedianya ruang publikyang bebas (a free public sphere). Civil society memangdiarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state aotonomy)yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civilsociety) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dankegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung.Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaangenerasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat.Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya danmodalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkanuniversal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan,keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrismeyang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaranIslam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan tema-tema semaam itu,wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap berbagai hal tanpaharus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi,Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal,selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh karenanya,segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih progresif dan visionerbaik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekalimenyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampakbahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaanpopuler di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsikonsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata bendayang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu jugamenyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilahpinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenaldalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di Indonesia menafikankenyataan historis dan kultural tersebut?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islamadalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di"langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapiketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulanbudaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumiIslam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasitingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islamyang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaanyang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat kekebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malahtidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi sayamemilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan,nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalamupaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbedadengan hewan, manusia tidak puas hanya
denganapa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusiaberusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusiamerumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dankepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu :ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketikamanusia menentukan dengan obyektip identitas
benda-benda ataukejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan,manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam prosespenilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi.Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian,maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni denganlogika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antaranilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju disebut aspekprogressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketikamanusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yangmenggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
kekudusan danketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal
nilai agama.

4. Nilai seni. Jikayang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika dalam menilaibenda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal nilai seni.Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-
sama menekankanintuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek
ekpressip darikebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketikamanusia merasa puas jika orang lain mengikuti
fikiranya,norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilaikuasa.

6. Nilai solidaritas.Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta, persahabatan dansimpati sesama manusia, menghargai orang
lain, dan merasakankepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilaisolidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakankristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukankonfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apayang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan"sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi atthab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurangmemperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teoricenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderungtega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga adasosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa jugaada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yangrasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikirilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak daribudaya ekpressip  bermuara padakepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnyadinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuanbaru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional,memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

About

Featured Posts Coolbthemes