Monday, July 4, 2011

Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah Abasiyyah


Kekhilafahan Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun750-1517 M/132-923 H. Diawali oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754)dan diakhiri Khalifah al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentangwaku yang cukup panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkanpada dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan IlmuPengetahuan dan Teknologi di dunia Islam.
Di era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagaipenemuannya yang mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yangmenemukan angka nol dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika,Algoritma (logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udarauntuk mengukur suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena,pakar Medis Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadireferensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni(973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperolehkesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihunioleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudahpakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, dinegeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yangdisebar mencapai 10:1 sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat2,5:1.

Kecanggihan teknologi masa ini jugaterlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjidAgung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yangdibangun oleh khalifah al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yangdibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yangdibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilanganipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang sejarah Islam. Tapi jangankhawatir, someday Islam akan kembali jaya dan tugas kita semua untukmewujudkannya.
Dinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncakkejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam.Tradisi keilmuan berkembang pesat.
Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidangilmu pengetahun dan teknologi, kata Ketua Kajian Timur Tengah UniversitasIndonesia, Dr Muhammad Lutfi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid.Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786.
Saat itu, kata Lutfi, banyak lahir tokohdunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunyaadalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengannama Avicenna.
Sebelum Islam datang, kata Luthfi, Eropaberada dalam Abad Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu yang maju, bahkan lebihpercaya tahyul. Dalam bidang kedoteran, misalnya. Saat itu di Barat, jika adaorang gila, mereka akan menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib.Di atas luka tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ”Jika orangtersebut berteriak kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momenpertempuran orang gila itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang itumenjadi gila karena kerasukan setan,” jelas Luthfi.
Pada saat itu tentara Islam juga berhasilmembuat senjata bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel besar pelontar batu atauapi. Ini membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Padaabad ke-14, tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkankebanggaan bagi masyarakat Arab.
Lain lagi pada masa pemerintahan dinastiUsmaniyah — di Barat disebut Ottoman — yang kekuatan militernya berhasilmemperluas kekuasaan hingga ke Eropa, yaitu Wina hingga ke selatan Spanyol danPerancis. Kekuatan militer laut Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu,apalagi mereka menguasai Laut Tengah.
Kejatuhan Islam ke tangan Barat dimulaipada awal abad ke-18. Umat Islam mulai merasa tertinggal dalam bidang ilmupengetahuan dan teknologi setelah masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saatitu Napoleon masuk dengan membawa mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambahtenaga ahli.
Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kotaBaghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawahpimpinan Hulagu Khan. Di sisilain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah.
Salah langkah diambil saat merekamendukung Jerman dalam perang dunia pertama. Ketika Jerman kalah, secaraotomatis Turki menjadi negara yang kalah perang sehingga akhirnya wilayahmereka dirampas Inggris dan Perancis.
Tanggal 3 Maret 1924, khilafah Islamiyahresmi dihapus dari konstitusi Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi negara yangsecara konsisten menganut khilafah Islamiyah. Terjadi gerakan sekularisasi yangdipelopori oleh Kemal At-Taturk, seorang Zionis Turki.
Kini 82 tahun berlalu, umat Muslimtercerai berai. Akankah Islam kembali mengalami zaman keemasan seperti yangterjadi di 700 tahun awal pemerintahannya?
Ketua MUI, KH Akhmad Kholil Ridwanmenyatakan optimismenya bahwa Islam akan kembali berjaya di muka bumi. Ridwanmenyebut saat ini merupakan momen kebangkitan Islam kembali. ”Seperti janjiAllah, 700 tahun pertama Islam berjaya, 700 tahun berikutnya Islam jatuh dansekarang tengah mengalami periode 700 tahun ketiga menuju kembalinyakebangkitan Islam,” ujarnya.
Meskipun saat ini umat Islam banyakditekan, ujar Ridwan, semua upaya ini justru semakin memperkuat eksistensiIslam. Ini sesuai janji Allah yang menyatakan bahwa meskipun begitu hebatnyamusuh menindas Islam namun hal ini bukannya akan melemahkan umat Islam.”Ibaratnya paku, semakin ditekan, Islam akan semakin menancap dengankuat,”ujarnya.
Sementara itu, Luthfi menyatakan sistemkhilafah Islamiyah masih relevan diterapkan pada zaman sekarang ini asaldimodifikasi. Ia mencontohkan konsep pemerintahan yang dianut Iran yang menjadimodifikasi antara teokrasi (kekuasaan yang berpusat pada Tuhan) dan demokrasi(yang berpusat pada masyarakat).
Di Iran, kekuasaan tertinggi tidakdipegang parlemen atau presiden, melainkan oleh Ayatullah atau Imam, yang jugamemiliki Dewan Ahli dan Dewan Pengawas. Sistem pemerintahan Iran ini, menurutLuthfi, merupakan tandingan sistem pemerintahan Barat. ”Tak heran kalau AmerikaSerikat sangat takut dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradabanbaru Islam.”
Konsep khilafah Islamiyah, kata Luthfi,mengharuskan hanya ada satu pemerintahan Islami di dunia dan tidakterpecah-belah berdasarkan negara atau etnis. ”Untuk mewujudkannya lagi saatini, sangat sulit,” kata dia.
Sementara Kholil Ridwan menjelaskan adatiga upaya konkret yang bisa dilakukan umat untuk mengembalikan kejayaan Islamdi masa lampau. Yang pertama adalah merapatkan barisan. Allah berfirman dalamQS Ali Imran ayat 103 yang isinya “Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali(agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.”
Upaya lainnya adalah kembali kepadatradisi keilmuan dalam agama Islam. Dalam Islam, jelasnya, ada dua jenis ilmu,yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yang masuk golongan ilmu fardhu ‘ainadalah Al-Quran, hadis, fikih, tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya.Sedangkan yang masuk ilmu fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika,psikologi, dan cabang sains lainnya.
Sementara upaya ketiga adalah denganmewujudkan sistem yang berdasarkan syariah Islam.

Pengertian / Arti IPTEK


PTEK merupakansingkatan dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki,menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dariberbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkanrumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkuppandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Lalu pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuantermasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan proseduryang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Sedangkan teknologi atau pertukangan memiliki lebih dari satu definisi.Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat, mesin, material dan proses yang menolong manusiamenyelesaikan masalahnya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik. Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yangmenggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan. Akan tetapi, penemuanyang sangat lama seperti roda dapatdisebut teknologi.


Peran Islam dalam perkembangan iptek

Peran Islam dalam perkembangan iptek padadasarnya ada 2 (dua).
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagaiparadigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umatIslam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam inimenyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idahfikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadiAqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadistandar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai denganAqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya,wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yanglahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupansehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umatIslam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang adasekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek,didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islamboleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknyajika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umatIslam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhikebutuhan manusia.

Pandangan Islam terhadap IPTEK


 

Ahmad Y Samantho dalam makalahnya di ICAS Jakarta(2004) mengatakan bahwa kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yangkini dipimpin oleh peradaban Barat satu abad terakhir ini, mencegangkan banyakorang di pelbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material(fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuatbanyak orang lalu mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpadibarengi sikap kritis terhadap segala dampak negatif dan krisismultidimensional yang diakibatkannya.
Peradaban Barat moderen dan postmodern saat inimemang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolahmenjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebuttidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagisebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8)saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alamnegara lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi danmiliternya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaankolonialisme-imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan.

Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi olehpandangan dunia dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagaianak kandung filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telahmelahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyakmanusia baik di Barat maupun di Timur.
Krisis multidimensional terjadi akibatperkembangan Iptek yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan danagama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa dankacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang disebabkantingginya polusi industri di negara-negara maju; Kehancuran ekosistem laut dankeracunan pada penduduk pantai akibat polusi yang diihasilkan oleh pertambanganmineral emas, perak dan tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utaradan di Freeport Papua, Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India, dll. KrisisEkonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin,terjadi akibat ketidakadilan dan ’penjajahan’ (neo-imperialisme) olehnegara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan danteknologi modern.
Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim,saat ini pada umumnya adalah negara-negara berkembang atau negaraterkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasaiperkembangan ilmu pengetahuan dan sains-teknologi. Karena nyatanyasaudara-saudara Muslim kita itu banyak yang masih bodoh dan lemah, maka merekakehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara merekakemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negaraBarat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis(’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologiinformasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dankejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim.
Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. UmatIslam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jayadi masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kayasumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikandan Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaandunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisamakanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju.
Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengansumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaanBBM. Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dantembaga serta kayu hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalamikesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakitakibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepadatanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia?
Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknyamenjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigihmemperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat.Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter danmoral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan danteknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah swt. Serta melawanpengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis(mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu).
Akhlak yang baik muncul dari keimanan danketaqwaan kepada Allah swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan.Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt hanya akan muncul bila diawali denganpemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah swt dan terhadapalam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan,Kekuasaan dan Keagungan-Nya.
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurnabagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari,mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengankata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi.
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yangmelandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ’matre’dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untukmenjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah swt dan mengembang amanatKhalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepadakemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin).Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Quran yang mementingkan proses perenungan,pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri danmenjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi,dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambilberdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentangpenciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkauciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron[3] : 190-191)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yangberiman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58]: 11 )
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakanayat-ayat (atau tanda-tanda) ke-Mahakuasa-an dan Keagungan Allah swt. Ayattanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), sepertikitab-kitab suci dan ajaran para Rasul Allah (Taurat, Zabur, Injil dan AlQuran), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam),keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata,telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan,pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah swt, Tuhan Yang MahaKuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalamIslam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koinyang sama. Keduanya salingmembutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistikdan integratif.

PERANAN ISLAM DALAM PERKEMBANGAN IPTEK




Perkembangan ilmupengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yaknidapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri,komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Denganditemukannya mesin jahit, dalam 1 menit bisa dilakukan sekitar 7000 tusukanjarum jahit. Bandingkan kalau kita menjahit dengan tangan, hanya bisa 23tusukan per menit (Qardhawi, 1997). Dahulu Ratu Isabella (Spanyol) di abad XVIperlu waktu 5 bulan dengan sarana komunikasi tradisional untuk memperoleh kabarpenemuan benua Amerika oleh Columbus (?). Lalu di abad XIX Orang Eropa perlu 2minggu untuk memperoleh berita pembunuhan Presiden Abraham Lincoln. Tapi pada1969, dengan sarana komunikasi canggih, dunia hanya perlu waktu 1,3 detik untukmengetahui kabar pendaratan Neil Amstrong di bulan (Winarno, 2004). Dulu orangnaik haji dengan kapal laut bisa memakan waktu 17-20 hari untuk sampai keJeddah. Sekarang dengan naik pesawat terbang, kita hanya perlu 12 jam saja.Subhanallah…

Tapi di sisi lain, tak jarang iptekberdampak negatif karena merugikan dan membahayakan kehidupan dan martabatmanusia. Bom atom telah menewaskan ratusan ribu manusia di Hiroshima danNagasaki pada tahun 1945. Pada tahun 1995, Elizabetta, seorang bayi Italia,lahir dari rahim bibinya setelah dua tahun ibunya (bernama Luigi) meninggal.Ovum dan sperma orang tuanya yang asli, ternyata telah disimpan di “bank” dankemudian baru dititipkan pada bibinya, Elenna adik Luigi (Kompas, 16/01/1995).Bayi tabung di Barat bisa berjalan walau pun asal usul sperma dan ovumnya bukandari suami isteri (Hadipermono, 1995). Bioteknologi dapat digunakan untukmengubah mikroorganisme yang sudah berbahaya, menjadi lebih berbahaya, misalnyamengubah sifat genetik virus influenza hingga mampu membunuh manusia dalambeberapa menit saja (Bakry, 1996). Kloning hewan rintisan Ian Willmut yangsukses menghasilkan domba kloning bernama Dolly, akhir-akhir ini diterapkanpada manusia (human cloning). Lingkungan hidup seperti laut, atmosfer udara,dan hutan juga tak sedikit mengalami kerusakan dan pencemaran yang sangat parahdan berbahaya. Beberapa varian tanaman pangan hasil rekayasa genetika jugadiindikasikan berbahaya bagi kesehatan manusia. Tak sedikit yang memanfaatkanteknologi internet sebagai sarana untuk melakukan kejahatan dunia maya (cybercrime) dan untuk mengakses pornografi, kekerasan, dan perjudian.
Di sinilah, peran agama sebagai pedomanhidup menjadi sangat penting untuk ditengok kembali. Dapatkah agama memberituntunan agar kita memperoleh dampak iptek yang positif saja, serayamengeliminasi dampak negatifnya semiminal mungkin? Sejauh manakah agama Islamdapat berperan dalam mengendalikan perkembangan teknologi modern? Tulisan inibertujuan menjelaskan peran Islam dalam perkembangan dan pemanfaatan teknologitersebut.

Pandangan Islam Tentang Seni


Sebenarnya, bagaimana pandangan Islamtentang seni? Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan menjadi salahsatu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat raya ini. Allah melaluikalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia memandang seluruh jagat raya dengansegala keserasian dan keindahannya. Allah berfirman:
   
 “Makaapakah mereka tidak melihat ke langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kamimeninggikannya dan menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?”[QS 50: 6].
Allah juga mengajak manusia untuk melihatdari perspektif keindahan, bagaimana buah-buahan yang menggantung di pohon danbagaimana pula buah-buahan itu dimatangkan. Jika manusia memerhatikan danmenikmati dengan pandangan yang indah, saat arak-arakan binatang ternak saatmasuk ke kandang, juga saat dilepaskan ke tempat penggembalaan, sesungguhnyapada peristiwa itu ada unsur keindahannya.
Ajakan-ajakan kepada manusia tersebutmenunjukkan, pada dasarnya manusia dianugerahi

Allah potensi untuk menikmati dan mengekspresikan keindahan. Seni merupakanfitrah dan naluri alami manusia. Kemampuan ini yang membedakan manusia denganmakhluk yang lain. Karena itu, mustahil bila Allah melarang manusia untukmelakukan kegiatan berkesenian.
Nabi Muhammad Saw sangat menghargaikeindahan. Suatu ketika dikisahkan, Nabi menerima hadiah berupa pakaian yangbersulam benang emas, lalu beliau mengenakannya dan kemudian naik ke mimbar.Namun tanpa menyampaikan sesuatu apapun, Beliau turun kembali. Para sahabatsedemikian kagum dengan baju itu, sampai mereka memegang dan merabanya. NabiSaw bersabda:
“Apakahkalian mengagumi baju ini?” Mereka berkata, “Kami sama sekali belum pernahmelihat pakaian yang lebih indah dari ini.” Nabi bersabda: “Sesungguhnyasaputangan Sa’ad bin Mu’adz di surga jauh lebih indah daripada yang kalian lihat.”[M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an].
Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin jugamenuliskan bahwa: “Siapa yang tidak berkesan hatinya di musim bunga dengankembang-kembangnya, atau oleh alat musik dan getaran nadanya, maka fitrahnyatelah mengidap penyakit parah yang sulit diobati.”
Kehati-hatian dalam Seni
Kalau memang demikian pandangan Islamtentang seni, mengapa pada masa awal perkembangan Islam [zaman Nabi Saw danpara sahabatnya], belum tampak jelas ekspresi kaum muslim terhadap kesenian.Bahkan, terasa adanya banyak pembatasan-pembatasan yang menghambat perkembanganseni? Menurut Sayyid Quthb, pada masa itu, kaum muslim masih dalam tahappenghayatan nilai-nilai Islam dan memfokuskan pada pembersihan gagasan-gagasanjahiliyah yang sudah meresap dalam jiwa masyarakat sejak lama. Sedangkan sebuahkarya seni lahir dari interaksi seseorang atau masyarakat dengan suatu gagasan,menghayati dengan sempurna sampai menyatu dengan jiwanya. Karena itu, belumbanyak karya seni yang tercipta pada masa awal perkembangan Islam itu.
Pembatasan-pembatasan terhadap keseniankarena adanya sikap kehati-hatian dari kaum Muslim. Kehatihatian itudimaksudkan agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal yang bertentangandengan nilai-nilai Islam yang menjadi titik perhatian pada waktu itu. M QuraishShihab menjelaskan bahwa Umar Ibnul Khaththab, khalifah kedua, pernah berkata,“Umat Islam meninggalkan dua pertiga dari transaksi ekonomi karena khawatirterjerumus ke dalam haram [riba].” Ucapan ini benar adanya, dan agaknya ia jugadapat menjadi benar jika kalimat transaksi ekonomi diganti dengan kesenian[Wawasan Al-Qur’an].
Atas dasar kehati-hatian ini pulalahhendaknya dipahami hadits-hadits yang melarang menggambar atau melukis danmemahat makhluk-makhluk hidup. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia,memperindah hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilailuhur dan menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahandalam jiwa manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya.
Karena ketika itu ia telah menjadi salahsatu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Demikian Muhammad Imarahdalam bukunya Ma’âlim Al-Manhaj Al-Islâmi yang penerbitannya disponsori DewanTertinggi Dakwah Islam, Al-Azhar bekerjasama dengan Al-Ma’had Al-’Âlami lilFikr Al-Islâmi [International Institute for Islamic Thought].
Kesenian Islam baru berkembang danmencapai puncak kejayaan pada saat Islam sampai di daerah-daerah Afrika Utara,Asia Kecil, dan Eropa. Daerah-daerah tersebutdidefinisikan sebagai Persia,Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Didaerah-daerah tersebut, Islam membaur dengan kebudayaan setempat. Terjadilahpertukaran nilai-nilai Islam dengan budaya dan seni yang menghasilkan ragamseni yang baru, berbeda dengan karakter seni tempat asalnya.
Dasar Seni Islam
Seni yang didasarkan pada nilai-nilai Islam [agama/ketuhanan] inilahyang menjadi pembeda antara seni Islam dengan ragam seni yang lain. TitusBurckhardt, seorang peneliti berkebangsaan Swiss-Jerman mengatakan, “Seni Islamsepanjang ruang dan waktu, memiliki identitas dan esensi yang satu. Kesatuanini bisa jelas disaksikan. Seni Islam memperoleh hakekat dan estetikanya darisuatu filosofi yang transendental.” Ia menambahkan, para seniman muslim meyakinibahwa hakekat keindahan bukan bersumber dari sang pencipta seni. Namun, keindahan karya seni diukur darisejauh mana karya seni tersebut bisa harmonis dan serasi dengan alam semesta.Dengan begitu, para seniman muslim memunyai makna dan tujuan seni yang luhurdan sakral.
Apakah seni Islam harus berbicara tentangIslam? Sayyid Quthb dengan tegas menjawab tidak. Kesenian Islam tak harusberbicara tentang Islam. Ia tak harus berupa nasehat langsung atau anjuranberbuat kebajikan, bukan juga penampilan abstrak tentang aqidah. Tetapi seniyang Islami adalah seni yang menggambarkan wujud dengan ‘bahasa’ yang indahserta sesuai dengan fitrah manusia. Kesenian Islam membawa manusia kepadapertemuan yang sempurna antara keindahan dan kebenaran.
Seni sebagai sarana untuk mengenal Islam
London – Bukanlah sebuah kebetulan yang menggembirakan bahwa galeriseni Islam di Museum Victoriadan Albert yang baru diperbaharui dengan indah harus dibuka bulan lalubertepatan dengan saat Timur Tengah sekali lagi terbakar.
Biar bagaimanapun, salah satutujuan galeri tersebut adalah untuk mempertunjukkan kepada para pengunjung yangsebagian besar orang Barat suatu gambaran yang berbeda dari dunia Islam,gambaran yang begitu hidup tentang kecanggihan cita rasa keindahannya yangbegitu berbeda dengan gambaran umum keradikalan yang sering ditampilkan dalamhalaman muka berbagai harian.
Tentu saja, dengan pemikiranseperti ini di kepala maka Mohammed Jameel, seorang Saudi kaya, mau menanamkanuang sebesar $9,8 juta untuk menampilkan kembali koleksi Islami Victoria dan Albertuntuk pertama kalinya dalam setengah abad. Tempat pameran terletak di lantaiutama museum yang sekarang diberi nama Galeri Seni Islam Jameel untuk mengenangorang tua sang dermawan.
Namun gejolak politik di Israel, Gaza, Lebanon, Irakdan seterusnya hanya menggarisbawahi tantangan penggunaan masa lalu untukmenerangi masa kini. Dengan kata lain, dapatkah 400 benda seni yang telahdipilih dengan hati-hati, beberapa di antaranya berasal dari abad ke-11 M,memberikan kita pandangan yang baru tentang apa yang sedang terjadi di TimurTengah dewasa ini?
Pertanyaan tersebut pentingkarena, terutama sejak 11/9, banyak museum di Eropa dan Amerika Serikat yangmulai menyoroti berbagai koleksi dan pameran seni Islam sebagai cara untukmendorong pemahaman lebih besar dan menjembatani kesenjangan antara duniaYahudi-Kristen dan Muslim.
Di Eropa Barat, strategi ini jugamengesankan pengakuan atas Islam, yang karena besarnya imigrasi dari AfrikaUtara, Turki, Pakistan, dan Bangladesh, sekarang juga merupakan agama Eropa –dan karenanya penting baik bagi orang Eropa untuk menunjukkan rasa hormatkepada budaya Islam dan bagi para imigran Muslim dan anak keturunan merekauntuk berbangga dengan masa lalu mereka.
Tetapi apakah kita berharap terlalubanyak dari seni, dengan memberikannya beban politik yang begitu besar?
Namun buktinya, kebudayaan selalumenjadi alat politik. Dan tidak terkecuali di Timur Tengah. Seperti halnyaketergantungan seni Eropa kepada kerajaan dan gereja hingga masa pencerahankembali (Renaissance), seni Islam dari abad ketujuh hingga jatuhnya KekaisaranOttoman setelah Perang Dunia I tidak dapat dipisahkan dari sistem kekuasaanpolitik dan agama.

Bahkan dewasa ini, misalnya, Perancis tanpa malu-maluberusaha menarik perhatian negara-negara dunia ketiga dengan mendirikan Muséedu Quai Branly yang bernilai $ 295 juta untuk seni rupa dari kebudayaannon-Barat. Dan, dengan sasaran umat Muslim di tanah air dan luar negeri, Louvreakan menghabiskan $ 60 juta untuk sebuah sayap bangunan baru yang ambisius,rencananya dibuka pada 2009, untuk menampung koleksi Islaminya.

Tujuan Victoriadan Albert lebih sederhana: untuk menceritakan seni Islami dengan cara yangringkas dan dapat dicerna – tanpa merujuk ke masa ini. Namun pendekatan inijuga mengandung makna: dengan mengintip dari lubang kunci kesenian, kita dapatmelihat sebuah dunia yang lebih kompleks dan halus daripada teokrasi-teokrasiyang kaku, yang menindas dan berpandangan sempit yang didukung oleh beberapakelompok eksremis Muslim seperti sekarang.

Selama pembangunan Galeri Jameel, Victoria danAlbert menampilkan sebagian dari koleksi Islaminya di Amerika Serikat, Jepang,dan Inggris bagian utara dalam sebuah pameran keliling bertajuk "Istanadan Masjid". Dan judul ini memberikan kerangka konseptual tentang pameranterbarunya di sini: melayani baik istana dan masjid, seni Islam mengambilbentuk sekuler sekaligus keagamaan.
"Karakter politik seni Islambangkit karena, dengan ketiadaan pendeta, peran formatif dalam pengembangannyajatuh kepada mereka yang secara politik berkedudukan kuat," Tim Stanley,kurator senior koleksi Timur Tengah di Victoria dan Albert, menulis dalamsebuah katalog yang menemani pameran "Istana dan Masjid". Dengan katalain, seni Islam selalu mencerminkan kenyataan-kenyataan politik.
Variabel-variable ini memasukkandunia luar. Setelah wafatnya Nabi Muhammad pada 632 A.D., seni rupa Islammewarisi dua tradisi artistik yang berbeda: Mereka yang memilih ByzantiumKristen ke barat dan Kekaisaran Sassanian ke timur. Kemudian, seiring denganKekaisaran Muslim baru menyapu barat hingga ke Spanyol dan, kemudian, hingga keAsia, ia menyerap berbagai pengaruh baru, khususnya dari Cina.
Namun demikian, walaupun seniIslam mencerminkan tingkah rezim-rezim yang terus berganti, dari zaman awalKhalifah Umayyad dan Abbasid hingga yang terakhir dinasti Safavid, Qajar, danOttoman. Dan di sini, larangan Islam atas seni yang menampilkan figur seseorangditerjemahkan secara berbeda.
Seni bernafas agama menghormatiaturan tersebut tanpa kecuali, dengan mengandalkan kutipan kaligrafi dari AlQur'an dan bentuk abstrak, sering kali bentuk geometris dan ornamentasi. Tetapiseni sekuler, termasuk di dalamnya benda-benda yang bermanfaat sepertipermadani, vas keramik, peti gading, kendi kaca, dan metal, sering menampilkanbentuk tanaman dan hewan. Beberapa penguasa Muslim bahkan memesan potret merekasendiri. Dan walaupun kaligrafi tetap penting, ia juga menggunakan bait-baikpuisi selain
ayat-ayat Al Qur'an.
Eklektisisme dengan baiktergambarkan dalam pilihan kecil dari 10.000 koleksi benda seni Islam Victoria dan Albert.Galeri Jameel sendiri telah dirancang dengan menampilkan permadani yang dikenaldengan sebutan Ardabil, yang oleh museumdigambarkan sebagai "permadani tertua di dunia." Berukuran 36 kali 16kaki, atau sekitar 11 kali 5 meter, dan terdiri atas 30 juta ikatan tangan,permadani tersebut dibuat pada sektitar 1539-1540 M untuk Masjid Ardabil dibarat laut Iran.
Di masa lalu, permadani tersebuttergantung secara vertikal dan sulit untuk dinikmati. Sekarang, ia terbentangdi tengah galeri dan diletakkan di dalam suatu bingkai yang dibuat khususdengan pencahayaan yang tepat. Sebagai permadani yang digunakan untukberibadat, rancangannya yang rumit dengan menggunakan 10 warna tidakmenampilkan figur apapun sama sekali. Sebaliknya, tergantung tidak jauh,terdapat sehelai permadani yang dikenal sebagai permadani Chelsea, juga berasaldari abad ke-16 M Persia, yang tampak hidup dengan bunga-bungaan, buah-buahan,dan hewan, seperti membangkitkan kesan surga di bumi.

Yang lebih tidak terduga adalah sebuah jubah Kristen dariabad ke-17 M yang menggambarkan penyaliban, yang dibuat dalam gayaseni rupa Islam untuk digunakan oleh para pendeta Armeniayang hidup di kotaIsfahan di Iran. Ini juga mengingatkan kita bahwa dunia Islam memiliki wargaberagama Kristen dalam jumlah besar, demikian juga Yahudi.

Benda-benda lain tidak membutuhkan penjelasan untukdikagumi: sebuah mangkuk batu kristal abad ke-11 M dari Mesir; sebuah lampu masjidtembikar Iznik abad ke-16 M dari Istanbul; sebuah mangkuk abad ke-15 M yangmenggambarkan sebuah kapal Portugis yang sedang berlayar yang dibuat di Spanyoldengan menggunakan teknik pengilapan yang diciptakan di Irak berabad-abadsebelumnya; sebuah mimbar kayu setinggi 19 kaki yang dibuat pada akhir abadke-15 M untuk sebuah masjid di Kairo.
Relasi antaraIslam dan budaya
Islamadalah agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rohmat bagi alam semesta.Ajaran-ajarannya selalu membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di duniaini. Allah swt sendiri telah menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebutdalam ( QS Toha : 2 ) :
 


“ Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu agarkam menjadi susah “.
 Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikutipetunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akanbahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkangdan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yangsempit dan penuh penderitaan.
Ajaran-ajaranIslam yan penuh dengan kemaslahatan bagi manusia ini, tentunya mencakup segalaaspek kehidupan manusia. Tidak ada satupun bentuk kegiatan yang dilakukanmanusia, kecuali Allah telah meletakkan aturan-aturannya dalam ajaran Islamini. Kebudayaan adalah salah satu dari sisi pentig dari kehidupan manusia, danIslampun telah mengatur dan memberikan batasan-batasannya.Tulisan di bawah iniberusaha menjelaskan relasi antara Islam dan budaya. Walau singkatmudah-mudahan memberkan sumbangan dalam khazana pemikian Islam.
Arti dan HakekatKebudayaan
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hal. 149, disebutkan bahwa: “ budaya “adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang “ kebudayaan” adalah hasilkegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, seperti kepercayaan,kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan dengankeseluruhan kecakapan ( adat, akhlak, kesenian , ilmu dll). Sedang ahli sejarahmengartikan kebudaaan sebagai warisan atau tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihatkebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlahluas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginyamenjadi lima aspek : 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian4. Sejarah 5. Ilmu Pengetahuan.
Aspek kehidupanSpritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana ( candi, patung nenekmoyang, arsitektur) , peralatan ( pakaian, makanan, alat-alat upacara). Jugamencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara ( kelahiran, pernikahan,kematian )
Adapun aspekbahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun, syair, novel-novel.
Aspek seni dapatdibagi menjadi dua bagian besar yaitu ; visual arts dan performing arts, yang mencakup ; seni rupa ( melukis), seni pertunjukan( tari, musik, ) Seni Teater ( wayang ) Seni Arsitektur ( rumah,bangunan ,perahu ). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince ( ilmu-ilmueksakta) dan humanities ( sastra,filsafat kebudayaan dan sejarah ).
Hubungan Islamdan Budaya
Untukmengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya,kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusiacenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusiauntuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untukselalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik ?
Sebagian ahlikebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamikilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhankarya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, danfilsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknyasebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya“Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama danbudaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninyapemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman,dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia.Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi,sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agamamerupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologimengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistempengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala sertasimbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapaihakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanyadapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, ,bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah lakukeagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat darikitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat sucitersebut.
Dari keterangandi atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yangberbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompokpertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan katalain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapatini diwakili oleh Hegel. Kelompokkedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggapbahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompokketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itusendiri.
Untuk melihatmanusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja.Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanahdan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelasdi dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 :
 




 ( Allah)-lahYang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakanketurunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Diamenyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selainmenciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat,yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsurcahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat ,karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas,merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalamsuatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisikdari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, danpembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yangterdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik.Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlahyang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuatkerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu,selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran,penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusiamampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di mukabumi ini.
Allahtelah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya,berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islammengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalahpemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberianAllah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agarbermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untukselalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia inimenjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalamsatu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teoriseperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.
Sikap Islamterhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur danmembimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengandemikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianutsuatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkanagar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidakbermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlumeluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menujukebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang DasarNegara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapatperbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32,disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya danpersatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yangdapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, sertamempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :
Pertama :Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidahfiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakanbagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapiyang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belumada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalampernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itusyah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harusdiberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakaiarsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalamIslam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikanstandar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yangmenyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil“ al adatu muhakkamatun “karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkandengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islamtelah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikahdengan seorang kafir.
Kedua :Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.Contoh yang paling jelas, adalah tradisiJahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan denganajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yangsarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untukmeronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkanaturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukansyair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga:Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya“ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayatyang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secarabesar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yangmeninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkanbiaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakatKalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat.Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahulesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akandigali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yangbesar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yangluas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukanbiaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurbanyang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawatengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yangdipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepadaNyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautanselatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangandengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islammelarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidakmengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajatkemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yangmenurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yangmenghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakanmanusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhabhanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripadatradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yangtelah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini,yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus padamalam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya,maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalahmengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusiasecara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisidibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “

SENI DALAM PANDANGAN AJARAN ISLAM



Nilaidan makna seni
Formulasi seniyang terungkap dalam bentuk yang nyata dan sangat inderawi, dalam
perspektifmasyarakat awam seringkali “hanya” dimasukkan dalam kategori menghibur,
danmerupakan pelengkap dari sebuah sisi kehidupan sosial bermasyarakat. Artinyabisa
ada danbisa tidak usah ada, bila dikaitkan dengan nilai-nilai kehidupan modern yang
sering diasosiasikandengan hal-hal yang harus efektif dan efisien, serta jauh dari pernikpernik
yangidentik dengan apa yang disebut dengan pemborosan. Bahkan, pernah suatu
saat padatahun 1997 di sebuah desa di Eretan Pamanukan, seorang kuwu dengan bangga
menyatakanbahwa di wilayahnya tak lagi ada kesenian. Di sini sang kuwu mencoba
menerjemahkanslogan “efektif dan efisien” dengan tak memberi kesempatan adanya
sebuahkehidupan kesenian di wilayahnya. Kita semua tahu bahwa tahun itu adalah awal
darikrisis multidimensi di mana soal perut menjadi “satu-satunya“ prioritaspemecahan
masalahyang kemudian berdampak besar pada munculnya sikap ironis dari seorang
kuwu diatas.

Hal diatas tidaklah seutuhnya bisa dipersalahkan. Bahkan di masyarakat modern
sekalipun,di Amerika misalnya, ada seorang teman yang tidak mau dititipi televisi di
rumahnyasekaitan dengan alasan yang sama, yaitu efisiensi waktu. Ia tak bisa produktif
menulisnovel, yang notabene juga karya seni, karena waktunya akan banyak tersita
untuknongkrong di depan televisi menikmati karya-karya film mutakhir yang ditawarkan
agendanyaoleh sang pemilik televisi. Di sini karya seni memang berkaitan dengan waktu
luang yangharus disediakan oleh seseorang untuk menikmatinya, dan bagi masyarakat
tradisionaltertentu, waktu luang yang dalam perspektif mereka kadang juga disebut
denganwaktu sakral, memang kemudian ditetapkan justru untuk kebutuhan terlaksananya
sebuahperistiwa seni.
Kebutuhanakan terselenggaranya sebuah peristiwa seni/kesenian memang sangat
beragamseiring dengan keragaman bentuk seni tersebut. Bahkan dalam kehidupan
sehari-haripun kita sudah didera dengan tampilan pop art yang mengejawantah dalam
berbagai billboardiklan yang terserak di mana-mana. Ambil contoh penciptaan citra
tentangproduk minuman Coca Cola yang maknanya kemudian berkembang berlipat-lipat
dalamberbagai perspektif kritis serta merujuk pada permasalahan keremajaan,
hedonisme,Amerika, modernitas, imperialisme kultural, dsb. (Berger, 2006: 49).
Kekuatanmakna citrawi dari produk tersebut ternyata sangat berpengaruh pada gaya
hidupremaja kota yang tak jauh dari pernik-pernik ubarampe kegiatan yang kemudian
menjadiinheren dengan pencitraan produk tersebut.
Representasicitrawi yang terjadi pun juga beragam pula; dewasa ini ada
kecenderungandunia ipteks mendominasinya menjadi dunia representasi konseptual dan
abstrakatas realitas. Realitas yang kompleks yang amorf diformulasikan dalam sebuah
fenomenahiperelis yang memukau; sebuah copy lebih indah dari aslinya. Seni, yang
memangmerupakan produk persentuhan pengalaman pribadi seorang seniman dengan
realitaskehidupan di sekitarnya, bisa mengalamai transformasi nilai dan makna melalui
sebuahproses baru yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lalu
bagaimana dengandinamika komunal yang masih kental dengan ekspresi kolektif di
masa lalu.Di sinilah uniknya. Masih banyak bentuk formulasi seni yang belum disentuh
baik dalamjelajah perwilayahan tertentu yang bersifat khas maupun dalam spesifikasi
wilayahyang ditengarai oleh keterbukaan kontak ruang antar etnis, baik sebelum maupun
sesudahadanya realita deteritorialisasi, h realita yang menafikan keterbatasan ruangdan
waktudalam dunia virtual.

SENI, BUDAYA INDONESIA, DAN PERKEMBANGAN IPTEK DALAM PANDANGAN ISLAM




Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpangtindih, sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandanganyang menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pulayang menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkalimembingungkan ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupankita sehari-hari.
Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya denganbelajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu(i) .Koentjaraningrat juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yangterdapat dalam semua kebudayaan yaitu, sistemreligi, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa,kesenian, sistem mata pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan(ii).
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.Dengan demikian, agama (menurut pendapat di atas) merupakan gagasan dan karyamanusia. Bahkan lebih jauh Koentjaraningrat menyatakan bahwa unsur-unsurkebudayaan tersebut dapat berubah dan agama merupakan unsur yang paling sukaruntuk berubah.

Ketika Islam diterjemahkan sebagai agama (religi) berdasar pandangan di atas, maka Islam merupakan hasil darikeseluruhan gagasan dan karya manusia.Islam pun dapat pula berubah jika bersentuhan dengan peradaban lain dalamsejarah. Islam lahir dalam sebuah kebudayaan dan berkembang (berubah) dalamsejarah. Islam merupakan produk kebudayaan. Islam tidaklah datang dari langit,ia berproses dalam sejarah
Pandangan tersebut telah melahirkan pemahaman rancu terhadap Islam.Pembongkaran terhadap sejarah Al-Qur’an, justifikasi terhadap ide-ide sekulerisme,dan desakan untuk ‘berdamai’ menjadi Islam Inklusif, merupakan produk darikerancuan pemahaman tersebut.
Agama yang disebut dalam pandangan Kontjaraningrat di atas tentu tidakdapat dinisbatkan kepada Islam. Pemaksaan untuk memasukan Islam dalam teoritersebut akan menghasilkan pemahaman yang rancu. Islam seharusnya diberikesempatan untuk menafsirkan dirnya sendiri. Islam pun harus berikankeleluasaan untuk mendevinisikan kebudayaan.

Islam dan Kebudayaan
Buya Hamka menyatakan bahwa kepercayaankepada Yang Maha Kuasa itu sedia telah ada dalam jiwa manusia sendiri(iii).Hal itulah yang universal dalam diri manusia, fitrah manusia. Manusia melihatalam yang megah dan berbagai fenomena luar biasa, kemudian mencoba untukmenjelaskannya.
Dari fitrah itulah menusia kemudian mencari tahu “siapa yang Maha Kuasa?”.Pencarian manusia tersebut telah melahirkan banyak paham dan pandangan yangkemudian dipercayai sebagai agama. Agama-agama semacam ini bukanlah agama yangditurunkan Allah Swt kepada para nabinya, tetapi agama yang berasal dari akalbudi dan gagasan manusia. Agama semacam inilah yang tepat untuk dinisbatkankepada teori Kuntjaraningrat di atas.
Hanya Islam yang sesuai dengan fitrah manusia. Buya Hamka menyatakan : Permulaan perjalanan dinamakan fitrah.Akhir dari perjalanan dinamai Islam(iv). Yang dimaksud dengan kalimat tersebut yaitu, bahwa fitrah manusiauntuk mencari Yang Maha Kuasa, akan tetapi manusia akhirnya menyerah karenaakal tidak cukup untuk memahaminya. Islam memberikan penjelasan apa yang tidak bisa dijelaskan oleh akal.Itulah kenapa agama ini dinamakan Islam.
makainsaflah manusia akan kelemahan dirinja, dan insaf akan ke-Maha Besarnja JangAda itu. Maka menjerahlah dia dengansegala rela hati. Penjerahan jangdemikian dalam bahasa Arab dinamakan Islam(v).
Lebih jauhSyed Naquib Al-Attas menyatakan:
Makadengan pengertian faham agama yang bernisbah kepada kebudayaan seperti yangbiasa difahamkan dalam pengalaman Kebudayaan Barat itu tiada pula dapatdikenakan kepada agama Islam –berbeza dari yang lain yang sesungguhnyamerupakan keagamaan belaka— bukan hasilrenungan atau teori, bukan hasil agung dayacipta insan sebagaimana kebudayaan itu hasil usaha dan dayaciptanya dalam tindakan menyesuaikandirinya menghadapi keadaan alam sekeliling. Islam adalah agama dalam erti katayang sebenarnya, iaitu agama yang ditanzilkan oleh Allah Yang Mahasuci lagiMahamurni dengan perantara wahyu menerusi PesuruhNya yang Terpilih, dandasar-dasar akidahnya dinyatakan dalam Kitab Suci Al-Qur’anu’l-Karim, danamalan-amalannya dicarakan dalam Sunnah NabiNya yang Agung itu. Dipandangsebagai suatu peristiwa sejarah pun maka Islam itulah yang mengakibatkantimbulnya kebudayaan Islam, dan bukansebaliknya: bukanlah sesuatu kebudayaan itu yang mengakibatkan timbulnya agamaIslam(vi).
SementaraProf. Dr. Amer Al-Roubai menyatakan:
Di Barat, agamaadalah bagian dari kebudayaan, sedangkan di Islam, budaya didefinisikan olehagama(vii).
Islambukanlah hasil dari produk budaya (seperti yang dituduhkan oleh Nasr Hamd AbuZayd). Islam justru membangun sebuah budaya, sebuah peradaban. Peradaban yangberdasarkan Al Qur’an dan Sunnah Nabi tersebut dinamakan peradaban Islam.
Peradaban Islam memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peradaban lain. Cara pandang hidupyang berbeda inilah yang menghasilkan konsep-konsep yang berbeda pula. Olehkarena itu, merupakan hak Islam untuk menggunakan pandangan hidupnya (dalambahasa Al-Attas: ar-Ruyatul al Islam lial-wujud) untuk memahami setiap keberadaan, termasuk kebudayaan.
Dengan pemahaman di atas, kitadapat memulai untuk meletakan Islam dalam kehidupan keseharian kita. Kita pundapat membangun kebudayaan Islam dengan landasan konsep yang berasal dari Islampula.
Sebagai sebuah kenyatan sejarah,agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilaidan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan.Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup didalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukankebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yangfinal, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut).Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpakebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpakebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dankebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhikebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalahkebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua,agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesiamempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan danhajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbolagama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai duapersamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanyamudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmusosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenaikonstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tatanormatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar.Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia(dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesanreligiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan,sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agarsesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anakyang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqahuntuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yangdikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dancara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehananak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan.Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalamtahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapiorang yang meninggal [3].
Oleh karena itu, biasanya terjadidialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna(spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama.Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal iniberubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adatistiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyatyang bersifat absolut.

EpistemologiPribumisasi Islam

Gagasan pribumisasi Islam, secarageneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an.Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yangnormatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasaldari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak adalagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakatmuslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diridengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri?Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan darikekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidakhilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindaripolarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidakterhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikanagama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalarkeagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, sertaberusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama danbudaya.
Pada konteks selanjutnya, akantercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya,dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘IslamMurni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam diseluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragamaninterpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yangberbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal,melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengahsebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalamihistorisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat daripraktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan olehKuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukuperat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agarmanusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahamanini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dansebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupanmanusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia inijelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluqyang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawabandari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkaitdengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadikunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalamiperubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘IslamPribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagaiancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapidilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga,‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadiajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpamelihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigiddalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘IslamPribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentukpemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkanidentitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologikultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7],yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yangmemusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapattersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat.Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopangoleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagiterciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islampribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan inipenting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacanapembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telahmenuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yangtelah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahlibid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkambagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufimeyang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentangkonfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Sepertidiketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyaikecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh seringmenimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktrisresmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan iameremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulahpenguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untukmemadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itumenyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demakmenghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun padaakhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme danmistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. WalaupunKuntowijoyo[8]menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antarakeyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yangdicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktorkekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yangdiusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quokekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itumembahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangansosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkankelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuahagenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigmmasing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyaipemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yangkomprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampaikapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalampandangan Mark R. Woodward[9]tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watakal-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secarakomprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspekkeagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitukata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melaluipenafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an danSunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafatdan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspekdoktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11]mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yangpokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atauapa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuatmenunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosialkeagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung keNabi[12].Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnyaprinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulangbentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujukpernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasiinpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkanuntuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya denganhal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritasSunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu daritujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukanteologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses“pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpaterjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu,sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dantemuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enamkumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an,merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadismemberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusitradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinyaprinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkantradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun danmenafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untukskripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad).Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agamapemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaranpenafsiran.
Sama halnya dengan peranpenafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14]melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arabtas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensiRomawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an,(2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 :68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’anatau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah lakukeagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama denganpenggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkanperdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentralal-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan“dari beban yang menyusahkan”.[15]Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkandalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa(javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungandengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwabentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorongberkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untukmenjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalammempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satukriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikandi sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikirandan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaranagama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olahagama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis,padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama saratdengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana adadialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di siniIslam Pribumi menemukan keabsahannya.

 

Dakwah danTradisi Lokal

Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsikebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yangpas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalamperspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama,walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia memangtelah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehinggaapa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karenaIslam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagiadat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidakperlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itudilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam kedalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang menggantikebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia jugatidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islamdi Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan TimurTengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam danmana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbinganAllah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukupcerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu.Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untukmengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrahke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dantetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain,Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungandengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan)atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjidpertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisandari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budayalokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunangereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidakmemindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempatlahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahaminilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halusdalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilaibudayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengansebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agamatersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dankemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yangdibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyakmenciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir,tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifanmemasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yanglebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam diJawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karenaorang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusanhati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam dimasa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektikaagama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalamperspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam,karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokalsetempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasibudaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satucontoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi denganajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi olehIslam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan danyang lainnya.
Dialektika antara agama dan budayalokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau diCirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakansatu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia,upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkanajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabiyang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untukmemperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain)sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yangdemikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untukmengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. MenurutKuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasiuntuk Aksi,[18]sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut:Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa strukturitu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat,bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akanmemberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya.Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanyasebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modusproduksi.
Berbeda dengan pandangan Weberyang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sinidapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudutpandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat.Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubunganmakna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usahamerumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala(ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premisWeber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atauditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakanbahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masihsama.
Demikian pula dengan ritus-ritussemacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua padalevel penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atasnilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ’subyektif’ (kataini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya.Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan,tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain hightradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika inginditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yangniscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisitahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrubilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yangdalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbolkebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. DanKuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyakdalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyakmenikmati agamanya.
Adalah sebuah kenyataan sejarah yang tak bisa dipungkiri bahwa masuknyaIslam ke Indonesia (baca: Nusantara) lebih banyak mengandalkan jalur-jalurkultural ketimbang aksi kekerasan. Mulai dari era dakwah para saudagar Arab danGujarat, bahkan komon termasuk para pedagang Cina, di wilayah-wilayah pesisirNusantara pada abad ke-7. Banyak artefak dan dokumen sejarah membuktikan bahwapada masa itu secara pelan Islam merasuki wilayah nusantara ini. Bahkandiasumsikan pada masa itu kontak perdagangan antara kerajaan-kerajaan diNusantara khususnya Airlangga dan Singosari dengan Tiongkok telah terjalindengan baik. Meskipun secara pelan, justru para penyebar Islam itu tidakmemiliki tendensi secara praktis sebagai salah satu ekspansi politik. Tidak ada sebuah data sejarah yang menjelaskan terjadinya perebutan suatuwilayah oleh penyebar Islam melalui peperangan seperti yang terjadi di TimurTengah.
 Setelah para penyebar itu menjalin hubungan yang baik dengantradisi kultural masyarakat saat itu dengan memperlihatkan kesantunan ajaranserta perilaku-perlaku yang meneduhkan, Islam meluas hingga ke pusat-pusatkekuasaan kerajaan. Ini terbukti, bagaimana Sunan Ampel sangat dekat denganraja Brawijaya di era Kerajaan Majapahit. Kiprah Sunan Ampel telah mengantarkanWalisongo memiliki peranan penting perkembangan Islam selanjutnya. Islam telahmerambah ke pelbagai pelosok tanah Jawa bahkan menyebar ke seluruh Nusantara.Keberhasilan para Walisongo tidak terlepas dari strategi dakwahnya. Islamnyaris selalu diperkenalkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, forumpengajian, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya,yang sepi dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi, apalagi sampai menumpahkandarah.
Bahkan sewaktu komunitas muslim terbentuk di wilayah Demak, tepatnya didaerah Glagahwangi, tak ada bukti sejarah yang menceritakan penguasaan wilayahitu melalui peperangan. Hingga komunitas itu mendapatkan momentumnya menjadisebuah kerajaan Baru dengan hancurnya kerajaan Majapahit. Seketika itu jugaWalisongo mengukuhkan Raden Fatah, putra Raja Brawijaya V menjadi rajanya.Sejarah barangkali memetakan bahwa kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertamadi Jawa, tapi meragukan bagi kita bahwa kerajaan itu benar-benar menjadikekhalifahan sepertihalnya imperium yang ada di pusat Islam, Timur Tengah.Benar bahwa Islam saat itu telah menjadi kekuatan politik yang cukup penting,tapi bukan berarti para Walisongo bermaksud mendirikan Kerajaan Islam yangkemudian melakukan ekspansi pengislaman wilayah-wilayah lainnya. Benar,pemegang tampuk kekuasaan dan para menterinya muslim tapi tidak ditemukan datasejarah jikalau mereka menerapkan sistem kekhalifahan atau menerapkan syari?atIslam secara formal. Ada pertanyaan yang menarik untuk direnungkan, kenapabukan anggota walisongo yang menjadi rajanya, tapi Raden Fatah yang masihmemiliki kesinambungan dengan raja-raja Nusantara, khususnya Majapahit?
Ini artinya Islam bukan menjadi ideologi politik yang harus diperjuangkansecara politis, tapi sebagai sumber nilai dan norma-norma untuk menjalankanperilaku-perilaku para pemegang kekuasaan. Kita bisa membaca bagaimana bentukkerajaan dikonstruksi dan bagaimana telah terjadi proses saling mengambil,belajar serta dialog antara nilai Islam dan manifestasi budayanya. Parawalisongo sangat hati-hati menancapkan bentuk-bentuk keberagamaan bagi rakyatdengan menyelaraskan tingkap pengetahuan dan budaya saat itu. Munculnya kasusSiti Jenar sebaiknya dipahami dalam konteks penyelarasan yang memang saat itusangat penting bagi komunitas muslim yang masih baru terbentuk. Prosespenyelarasan bukan berarti ?penyeragaman? namun penekanannya lebih padakesesuaian dan ketepatan mengajarkan keislaman bagi masyarakat yangberbeda-beda tingkat pengetahuannya.
Strategi yang kemudian oleh para sejarawan lebih dikenal dengan strategiakomodatif ini merupakan kearifan para penyebar Islam menyikapi proses-prosesinkulturasi dan akulturasi. Hal yang sama juga terjadi di Samudera Pasai,Sumatera  dengan konteks historis dan budayanya. Namun, di Sumateramemiliki warna yang lebih integratif antara Islam dan adat setempat. Prosesakomodatif dan integratif ini merupakan upaya-upaya dialogis dan toleransi yangdikedepankan oleh penyebar Islam. Peperangan-peperangan yang terjadi lebihdisebabkan oleh perebutan kekuasaan, bukan oleh agama. Sekali lagi, tidak adadokumen sejarah yang menjelaskan bahwa terjadi ekspansi secara paksa dengankekerasan dan peperangan yang dilakukan oleh penyebar Islam awal.
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dantelah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demakadalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atauatap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa praIslam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijagamemotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahapkeberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baruberiman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnyasyariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) denganjalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitekturasing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleranterhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikianjuga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya IslamTimur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan.Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budayadapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelasterlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitekturkhas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian.
Pada periode berikutnya, ketika imperalisme Barat mulai bercokol di bumiNusantara ini, masyarakat muslim menjadi tantangan strategis bagi mereka.Kolonialisme yang telah melakukan praktik-praktik penindasan, kekerasan danpenguasaan secara paksa mengantarkan masyarakat muslim melakukan perlawanan.Namun, dalam  konteks penyebaran Islam tetap melakukan proses-prosesinkulturasi dengan budaya setempat, dengan keberagamaan lainnya yang ada dibumi Nusantara. Jadi, secara kultural tidak menjadi problem bagi perkembanganIslam.
Persoalan muncul justru dari keberbedaan secara politis menyikapi parakolonialis. Seperti yang ditunjukkan ketika penguasa suatu kerajaan diNusantara berpihak kepada kepentingan kolonialis, kemudian membawa masyarakatIslam terpecah-pecah. Keterpecahan yang semula secara politis kemudian mengarahke arah perbedaan keberagamaannya. Berdirinya organisasi keberagamaanMuhammadiyah dan NU dapat dibaca dalam konteks ini. Dampak kolonialis yangtelah memecah-mecah komunitas Islam itu terlihat jelas ketika terjadiperdebatan sengit penyusunan dasar negara Indonesia tentang penerapan syari?atIslam. Saat itu terlihat dua arus besar, arus puritanisasi (pemurnian) Islamdan arus moderasi Islam. Namun, demi kemerdekaan Indonesia mereka harusmenyatukan visi dan arah perjuangan.
Tidak bisa dipungkiri organisasi apapun yang lahir sebelum 1945 yangdidirikan oleh masyarakat pribumi termasuk yang di luar negeri selalumengedepankan kemerdekaan Indonesia sebagai avant garde cita-cita yangingin diraih. Demikian juga NU, dengan caranya sendiri, membangun basis gerakandan argumentasi tentang kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, dasar negara tidakperlu mencantumkan berlakunya syari?at Islam.
Meskipun demikian bukan berarti arus puritanisme Islam padam. Sejarahmencatat beberapa peristiwa pemberontakan DI (Darul Islam) di berbagai daerahdi Indonesia. Belum padamnya arus puritanis Islam itu mengemuka kembali ketikaarus modernisasi masuk ke Indonesia. Respon dan penyikapan setiap komunitasIslam terhadap modernisasi pada akhirnya mewarnai proses perkembangan Islam diIndonesia. Kita bisa menyimak bagaimana pada tahun 70 dan 80-an kebijakanPancasila sebagai asas tunggal menjadi perdebatan.
Hendak dikatakan di sini bahwa semua sikap di atas menunjukkan bahwapandangan Islam terhadap negara yang ketika itu sebagai fenomen modernitaspaling jelas, diletakkannya bukan sebagai alternatif dari bentuk Islammelainkan sebagai instrumen belaka. Sebaliknya, Islam juga bukan sebagai alternatifdari bentuk negara yang baru itu sendiri. Titik temu paling siginifikan antaramodernitas yang ditampilkan melalui negara dan Islam adalah apakahmasing-masing bisa mengakomodasi pada tingkat substansi. Substansi itu dalamkonteks cara pandang fiqh pesantren adalah jaminan keabsahan keberagamaan yangesensial dalam Islam yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan tuntutanorang per orang umat?menurut fiqh?yang terrepresentasi dalam keabsahanpernikahan, dan sisi lainnya adalah kebebasan beribadah menurut keyakinan dankepercayaannya. Sedangkan kemerdekaan politik merupakan prasyarat utama bagiberlangsungnya dua hal di atas.
Dalam konteks inilah sebenarnya pesantren memiliki peran yang pentingsebagai benteng perjuangan kemerdekaan politik tersebut. Pesantren adalah salahsatu segmen dalam masyarakat Indonesia yang memiliki akar sangat kuat dalammasyarakat Indonesia pada umumnya, bahkan bisa disebut subkultur, sebuahkelompok masyarakat yang memiliki sistem nilai dan pandangan hidupnya sendiri sebagaibagian dari masyarakat luas. Tetapi karena tempatnya yang pada umumnya dipedesaan dan menerapkan pendidikan dan tradisi keagamaan (Islam) tradisional,maka dinamika yang ada di dalamnya kurang mendapatkan ekspose yang secukupnya.Bahkan pergulatan politik dan kemasyarakatannya pun kurang diperhitungkankarena dianggap kurang memberikan kontribusi dalam perjalanan bangsa.
Banyak orang tiba-tiba tersentak ketika kelompok tradisionalis yang cukupbanyak pengikutnya ini menggeliat merespon kemodernan dengan kekuatantradisinya sendiri tanpa kehilangan akomodasinya terhadap gejala kemodernan.Salah satu momentum itu adalah ketika NU kembali ke khittah 26 dan menerimaPancasila sebagai satu-satunya asas organisasi dengan menggeser Islam AhlusunnahWaljamaah yang semula asas menjadi aqidah. Ketika itu kelompok-kelompokIslam lain maupun agama lainnya masih ragu-ragu dan berupaya dengan kerasmenyusun argumen dan mencari legitimasi keagamaan untuk itu. Kiat yangdilakukan NU (pesantren) ini dianggap sebagai terobosan yang di satu pihakmemberikan jalan keluar dari jalan buntu pertemuan Islam dan modernitas dan dilain pihak tanpa kehilangan kekuatan tradisinya sendiri.
Pengamatan sepintas, akan menggiring orang pada anggapan bahwaseolah-olah NU hanya mengikuti apa saja kemauan penguasa ketika itu yangrepresif dan tidak memberikan pilihan kepada kelompok-kelompok sosial untukmemilih jalannya sendiri. Di luar sikap bahwa baik untuk tetap bernaung dibawah partai Islam maupun mengambil langkah mundur adalah sama-sama harusmengikuti kemauan penguasa, maka itu semua sesungguhnya sebagai sikap kreatifuntuk menghindari tekanan penguasa secara langsung di satu pihak dan menuntutkemandirian di lain pihak. Sikap demikian kalau ditelusuri lebih jauh ternyatamemiliki dasar-dasar paham keagamaan dan tradisinya sendiri di dalam NU.Kembali kepada khittah 26, sesunggunya merupakan transformasi lanjutan dari apayang telah diperjuangkan NU sejak berdirinya. Selalu ada dua faktor, pengaruhekternal dan internal dalam perubahan di dalam NU--atau di dalam organisasiapapun. Tetapi, tampaknya, untuk menanggapi itu semua pesantren/NU  lebihmengandalkan pada kemampuan dan tradisinya sendiri ketimbang pencomotan tradisilain dengan penuh kekaguman.
Ada dua situasi eksternal yang mendorong terbangunnya para ulamatradisional itu, yaitu kolonialisme dan serangan yang tajam dan terus menerusoleh kalangan apa yang disebut Islam modernis. Kolonial Belanda melakukanrepresi kepada masyarakat di bidang politik dan ekonomi sementara kalanganIslam modernis melakukan represi di bidang paham dan praktek keagamaan. Semuaini memberikan implikasi yang tidak sedikit bagi masyarakat luas, yaitukemiskinan dalam ekonomi, kebodohan dalam pendidikan dan politik, sertakegelisahan dan tekanan dalam beragama.
Ketegangan pun terus terjadi, baik di dalam masyarakat maupun dalampertemuan-pertemuan kongres Al-Islam?sebuah kongres yang diikuti oleh sebagianbesar kelompok-kelompok Islam di nusantara?antara kelompok Islam modernis danIslam tradisionalis. Salah satu topik diskusi di kalangan Islam yang sedanghangat ketika itu adalah tentang kekhilafahan Islam internasional sehubungandengan penghapusan kekhalifahan Daulah Utsmaniyah oleh penguasa KemalisRepublik Turki. Di dalam negeri terjadi perdebatan tentang representasi Islamuntuk mengikuti arus internasional tersebut, di samping kecaman dan bahkanpengrusakan oleh Islam modernis terhadap tradisi-tradisi ritual lokal yang jugadipraktekkan dan diajarkan oleh kalangan pesantren.
Dengan demikian, kehadiran Islam yang kini menjadi agama mayoritas diIndonesia sulit disangkal merupakan hasil dari proses panjang penetrasi budayayang tentu saja mengandaikan adanya sebuah dialog intensif di dalamnya antaradoktrin-doktrin agama itu sendiri dengan beragam tradisi dan tata nilai lokalyang lebih dulu hidup dan dianut banyak orang. Kendati agama nabi Muhammadtersebut awalnya datang dari daratan Timur Tengah, yang penampakan historisnyapada tingkat tertentu tidak mungkin steril dari pengaruh gaya dan corakkehidupan bangsa Arab, ia hampir dapat dipastikan mengalami ekskelektisasikultural yang khas Indonesia tatkala mewujudkan diri sebagai agama masyarakatIndonesia.
Lantas kenapa akhir-akhir ini muncul radikalisasi Islam di Indonesia?maraknya kekerasan yang dilakukan segelintir kalangan Islam garis keras telahmewarnai halaman  sejarah bangsa Indonesia. Fenomena laskar jihad dandalam konteks terorisme adalah Jami?iyah Islamiyah telah menggiring wajah Islamdi Indonesia menjadi garang dan  radikal. Sehingga banyak kalanganmenyebutnya sebagai kebangkitan fundamentalisme Islam di Indonesia.Dilatarbelakangi kondisi ini pula, banyak kalangan muslim yang juga membendungfenomena tersebut. Jaringan Islam Liberal adalah salah satu kelompok yangsecara terbuka menghadang gerakan radikal tersebut.
Seluruh umat Islam sepakat untuk memegang teguh al Qur?an dan Hadissebagai pedoman dalam menjalan ajaran Islam, namun bukan tanpa masalah ketikaterbentur oleh batas-batas etnisitas dan rentang waktu. Di Arab sendiri danbangsa-bangsa sekitarnya pemahaman atas al Qur?an dan Hadis cukup bervariasi.Tak pelak juga terjadi di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Persebaran Islamtelah melewati tradisi-tradisi kultural dan rentang sejarah yang panjangsehingga otentisitasnya sudah tidak terdeteksi lagi. Dengan demikian, variasikeberagamaan tersebut terletak pada bagaimana mereka memahami dan menafsirkanteks baik yang tertulis maupun yang ditangkap dalam historisitas peradabanIslam. Dari sinilah, dibutuhkan keberagamaan yang inklusif, pluralis dan ramah.
Dalam ilmu sosial, para penguasa menyadari bahwa jika tidak disertaidengan proses integrasi yang massif dan solid, proses diferensiasi (keberbedaan)selalu meninggalkan dampak-dampak negatif. Fakta sosial ini ternyata jugasangat disadari berkembang dalam penyebaran Islam dan persebaran tradisikultural Arab sebagai tempat lahirnya Islam. Karenanya, pandangan universalismeIslam cenderung untuk diusung dalam kerangka formalnya sesuai tradisi kulturalArab. Padahal universalisme Islam, jika kita bermaksud untuk diterima tradisikultural lainnya, harus bertolak dari nilai-nilai (values) yangmenyimpan pesan dan makna universalnya.
Oleh karena itu, yang harus pertama kita sepakati adalah bahwa pesan yangdibawa oleh Islam bersifat universal. Tetapi di saat yang sama, Islam jugamerupakan respon atas keadaaan yang bersifat khusus di tanah Arab. Olehkarenanya, kita harus menyadari bahwa Pertama, Islam lahir sebagaiproduk lokal yang kemudian diuniversalisasikan dan ditransendensi sehinggakemudian menjadi Islam universal. Maksud Islam sebagai produk lokal adalahIslam lahir di Arab, tepatnya daerah Hijaz, dalam situasi Arab dan pada waktuitu ditujukan sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan yang berkembang disana. Hal ini kemudian dikonstruksi sebagai potret dari kecenderungan global.
Kedua, betapapun Islam itu diyakini wahyu Tuhan yang universal,yang gaib, akhirnya dipersepsi oleh si pemeluk sesuai dengan pengalaman,problem, kapasitas intelektual, sistem budaya, dan segala keragamanmasing-masing pemeluk di dalam komunitasnya. Dengan demikian, memang justrukedua dimensi ini perlu disadari yang tidak mungkin di satu sisi Islam sebagaiuniversal, sebagai kritik terhadap budaya lokal, dan kemudian budaya lokalsebagai bentuk kearifan masing-masing pemeluk di dalam memahami dan menerapkanIslam itu.
Klaim universalitas Islam itulah yang justru membuat Islam bisa dipahamidi dalam beragam sistem budaya, tempat Islam akan ?disemaikan.? Sehingga klaimstandarisasi keislaman seperti yang tercermin di Arab tidak ada, akan tetapiIslam di Indonesia setara dengan Islam di India, Islam di Persia maupun Islamdi Arab. Bahwa Islam Indonesia misalnya dengan beberapa karakteristiknya tentusangat berbeda dengan Islam-Islam di tempat lain meskipun subtansialisnya sama.Karena tradisi merupakan domain Islam historis, maka sejarah telahmengkomunikasikan teks Kitab Suci dengan budaya tertentu dengan proses-p9rosespemahaman, penafsiran dan 4akhirnya penerapan ajaran teks itu sehingga telah membentuksuatu tradisi yang bervarian.
Dalam konteks sosial tertentu, pandangan keislaman bisa dipertahankanatau bertahan dengan baik. Hukum syari?at, misalnya, dalam bentuknya yang ada,sebagai sebuah himpunan (corpus) komprehensif dari peraturan-peraturanhidup, kini tampak terikat pada asumsi-asumsi sosial tertentu yang sudahketinggalan zaman. Banyak muslim ingin ?memodernkan? nya. Tetapi masih perluditunjukkan seberapa jauh kumungkinan kaum muslimin modern untuk memodifikasisyariat dalam prasangka-prasangkanya yang lebih fundamental tanpa, padakenyataannya, meninggalkan kesetiaan yang serius pada riwayat-riwayat hadistradisional yang menjadi dasar prasangka-prasangka tersebut. Namunriwayat-riwayat hadis telah berfungsi untuk menafsirkan al-Qur?an semenjak alQur?an berhenti diturunkan pada saat Nabi Muhammad meninggal dunia, sebagaitafsirnya sendiri yang berkelanjutan: maka dipertanyakan sejauh manariwayat-riwayat hadis dapat, pada babak ini dalam sejarah, dipisahkan darial-Qur?an sebagai ?dispensible?, tanpa secara menentukan meninggalkanharapan untuk mendasarkan kehidupan pada al Qur?an dan dalam Islam yangdidukungnya.
Dengan cara yang tidak begitu seksama dirumuskan, hal yang serupa jugaterjadi pada budaya secara umum, dari kompleks pandangan hidup menyeluruh yangdikaitkan dengan agama. Dalam setiap budaya dapat dilihat adanya cara yangberbeda dari hidup bersama yang cocok, yang telah memberinya nada atau gayayang berbeda. Cara-cara baru yang diperkenalkan bisa saja diasimilasikan dengangaya budaya tersebut. Konsepsi Islam yang integral sebagai sebuah budaya yangmenyeluruh menggarisbawahi gayanya yang khas, integritas budayanya sebagaisuatu keseluruhan yang betul-betul koheren, dengan cara menelusuri semuaranting-rantingnya pada apa yang tampak sebagai fondasi-fondasi yang tidak bisaditinggalkan. Kadang-kadang, apa yang kemudian dijalani sebagai Islam, dalamhal-hal tertentu, malah melanggar integritas kehidupan Islami: yakni,ia ternyata tidak konsisten dengan prasangka-prasangka budaya yang lebihfundamental dari Islam, ketika Islam telah dikembangkan; dan karena itu, mautidak mau ia menimbulkan konflik yang akan membutuhkan semacam resolusipsikologis dan historis tertentu.
Meskipun begitu, apa yang telah dirasa sebagai Islam, dipandang darisudut historis, dalam segala ramifikasinya dan bahkan dalamimplikasi-implikasinya yang paling penting, tentu saja telah sangat bervariasi.Kelengkapan visi Islam ketika ia berkembang telah menjamin bahwa ia tidak akanpernah betul-betul sama dari satu tempat ke tempat yang lainnya atau dari satuwaktu ke waktu yang lainnya. Karena secara historis Islam danpandangan?pandangan yang terkait dengannya membentuk sebuah tradisi kultural,atau sebuah kompleks tradisi-tradisi dan sebuah tradisi kultural dengansendirinya tumbuh dan berubah; semakin luas lingkupnya.
Di Indonesia, sebagai mayoritas Islam diharapkan mampu menjadi semacam"penengah" di antara umat agama-agama lain dan dituntut mampumengembangkan sikap keberagamaan yang tidak hanya peduli dengan kelompoknyasendiri, tetapi juga peduli dengan kelompok agama lain yang hidup sebagaitetangga dan saudara sebangsa. Upaya untuk menumbuhkan sikap keberagamaan yangkritis, dialogis, dan transformatif yang mendukung nilai-nilai demokrasi danpenguatan civil society tampaknya harus terus mendapat perhatianserius dari berbagai kalangan.
Radikalisme agama sebagai fenomena yang hangat diperbincangkanakhir-akhir ini, terutama dengan maraknya sejumlah "laskar" atauorganisasi berlabel agama yang diduga menciptakan kekacauan dan teror,eksistensinya sulit dipisahkan dari faktor krisis kebangsaan dan minimnya basiskultural demokrasi.
Krisis kebangsaan ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa kesadarannasional mengenai "Indonesia" lebih dominan dibangun oleh perekatpolitik ketimbang perekat budaya. Negara (state) dalam hal inidemikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpamemberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.Penolakan total terhadap tradisi lokal, sekaligus pada perkembangan modernitasdengan tanpa mengadaptasikan ajaran agama dengan kebutuhan sejarah dan kontekssosial, pada akhirnya melahirkan sikap eksklusif dan pandangan ekstrem dalamberagama.
Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awaltahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masihberkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahanOrde Baru. Sehingga dalam kaitannya dengan negara, kita dapat melihatkecenderungan kalangan Islam terporalisasi ke dalam tiga bentuk. Pertama,kelompok formaslitik yang memperjuangkan penerapan syari?at Islam. Kedua,kelompok moderat yang lebih mengedepankan nilai-nilai substantif Islam untukmenjalankan roda pemerintahan. Dan ketiga, kelompok sekulerstik yang meletakkan agama sebagai urusan privat, dan urusan publik atau masyarakatdan negara bukan urusan agama.
Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baruIslam dewasa ini, proses "reproduksi" Islam radikal pun terlihattidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yangdiusung kalangan Islam radikal yang "lebih vulgar", yang memfokuskangerakannya pada empat agenda utama: mendirikan negara Islam dan menegakkansyariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan.
Reaksi tersebut muncul akibat ketidakmampuan kultur masyarakat meresponsnilai-nilai dan norma-norma baru yang diusung gelombang modernitas ini.
Ketidakmampuan negara-bangsa menyemai kondisi-kondisi politik yang demokratisdan menyelesaikan krisis ekonomi serta ketidakadilan sosial telah membangkitkanfrustrasi masyarakat. Situasi demikian tak pelak ikut melahirkan gerakanfundamentalisme agama yang lebih bersifat ideologis dan politis untukmendelegitimasi negara-bangsa dan menggantikan tatanan maupun nilai-nilaidemokrasi "sekuler", yang dianggap sebagai biang berbagai krisistersebut, dengan tatanan Islam.
Jatuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup, membawa pengaruhmunculnya harapan adanya pemerintahan pasca-Orba yang demokratis. Di antaraharapan yang telah terwujud pada era reformasi ini adalah berdirinyapartai-partai politik, yang setelah dilakukan seleksi kini berjumlah 48 buah;dan diperbolehkannya penggunaan Islam sebagai nama dan asas partai. Sebagiandari 48 partai ini merupakan partai-partai Islam, baik yang secara tegasmenggunakan asas Islam atau tidak. Keadaan ini menjadikan banyak ulama masukdalam partai-partai ini, meskipun masih banyak juga di antara mereka yang tidakmau masuk partai tertentu dan lebih mengkonsentrasikan pada pembinaan umatsecara umum.
Keterlibatan banyak ulama dalam partai-partai itu dengan sendirinyamenjadikan mereka ikut berkiprah dalam memenangkan partai tertentu. Memang halini bisa membawa dampak positif, karena mereka akan dapat ikut serta memberikanpendapat dalam proses pengambilan kebijakan umum. Namun, hal ini juga bisamembawa dampak negatif, jika mereka kemudian berupaya mempengaruhi umatnyauntuk memilih partainya dengan cara yang tidak bijaksana. Dalam sistem danbudaya demokrasi di Indonesia yang belum mapan ini, kini memang masih tampakgejala-gejala perilaku politik yang belum dewasa, baik dilakukan oleh paratokoh politik maupun oleh publik. Perilaku politik yang tak terpuji ini adakalanya dilakukan dengan cara halus, misalnya dalam bentuk money politics;dan ada kalanya dengan cara kasar, misalnya memaksa seseorang untuk mengikutipartai tertentu, menjelek-jelekkan partai lain, melakukan penyerangan fisikterhadap anggota partai lain, dan sebagainya.
Kini sudah mulai ada gejala saling ejek dengan yustifikasi dalil-dalilagama yang tidak proporsional, misalnya mengatakan bahwa partai tertentu adalahpartai sekular dan kafir, bahwa pendukung partai tertentu akan berdosa, dansebagainya. Memang benar bahwa Islam adalah agama yang tidak memisahkan antaraagama dan negara, dan bahwa setiap Muslim berkewajiban untuk memperjuangkanaspirasinya dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan ajaran Islam. Namun,seseorang tidak bisa mengklaim bahwa hanya partainya dan tindakannya yangbenar, apalagi dengan penggunaan yustifikasi keagamaan yang tidak proporsional.Kalaupun diperlukan yustifikasi dari dalil-dalil keagamaan, hal ini seharusnyahanya dilakukan terhadap persoalan yang memang benar-benar menunjukkan kemaslahatandan keadilan bagi semua warga negara. Bukan terhadap persoalan yang masihdiperdebatkan dengan dalil-dalil yang interpretable, hanya untukmen-yustifikasi kepentingannya sendiri.
Adalah suatu keharusan, bahwa semua elite politik maupun masyarakat umummemegang teguh etika politik. Hanya, para ulama terutama yang terlibat dalampolitik praktis, memiliki tanggung jawab ganda untuk membudayakan etika politikini, karena kedudukan mereka yang sangat terkait dengan pembinaan akhlak ataumoralitas umat/ bangsa. Oleh karena itu, mereka seharusnya melakukan tugas: (a)tetap mendorong terciptanya persatuan dan persaudaraan di antara warga negara,(b) menghindari upaya "mempolitisasi" agama untuk men-yustifikasisikap mereka, (c) tidak mengeluarkan pernyataan yang yang dapat menimbulkanemosi dan agresivitas massa, terutama yang berkaitan dengan sentimen suku agamaras dan antargolongan (SARA), dan (d) mencegah massa, yang secara umum memangbelum dewasa dalam berdemokrasi itu, melakukan tindakan-tindakan yang anarkis.Tugas-tugas ini akan sangat mendukung suksesnya negara yang demokratis, jujurdan adil.
Sementara itu, para ulama yang tidak terlibat dalam politik praktis tetapmemiliki peran politis dalam bentuk pendidikan politik rakyat, sebagai perwujudandari peran pencerahan mereka terhadap umat. Mereka juga bisa melakukan tindakanpolitik meski dengan jalan non-politik (political action in thenon-political way), yang dilakukan dalam kerangka melaksanakan amrma'ruf nahy munkar (mendorong kebaikan dan mencegah kemunkaran). Dengankomitmen pada penegakan etika-moral, mereka bisa menjadi pihak independen dalammelakukan kontrol terhadap pemerintah serta proses dan aktivitas politik yangberlangsung, terutama dalam penyelenggaraan pemilu mendatang. Dalam konteksini, mereka juga sekaligus ikut berperan dalam memperkuat masyarakat madaniyang memang menjadi salah satu prasyarat bagi terwujudnya sistem demokrasi.
Transisi politik ternyata telah mengubah watak dan paradigma perjuanganIslam (ulama). Ulama yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalambahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), ditengah arus transisi politik sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuanganulama pelan-pelan mulai bergeser sering dengan perubahan politik di Tanah Air.Maka ulama pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengansegala jargon politiknya yang amat mengesankan.
Dalam konteks inilah, diperlukan reposisi ulama agar kembali kehabitatnya yang sejati, yakni menjadi cultural broker atau makelarbudaya. Bahkan, peran Ulama tidak sekadar makelar budaya, tetapi sebagaikekuatan perantara (intermefary forces), sekaligus sebagai agen yangmampu menyeleksi dan mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakanmasyarakat. Fungsi mediator ini juga dapat diperankan untuk membentengititik-titik rawan dalam jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengankeseluruhan sistem yang lebih luas, dan sering bertindak sebagai penyangga ataupenengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjagaterpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan.
Berdasarkan fungsi ini, ulama sebagai pemimpin umat memiliki basis yangkuat untuk memerankan sebagai mediasi bagi penguatan civil societymelalui aktivitas pemberdayaan (umat), seperti advokasi terhadap pelanggaranhak-hak rakyat oleh negara. Ini adalah bentuk dari peran ulama sebagai agenpenguatan civil society. Karena ciri pokok civil societyadalah adanya kemandirian masyarakat terhadap negara dan tersedianya ruang publikyang bebas (a free public sphere). Civil society memangdiarahkan sebagai resistensi dari model otonomi negara (state aotonomy)yang amat kuat berhadapan dengan masyarakat.
Karena itulah, reposisi ulama mengurusi wilayah kultural (civilsociety) menjadi agenda mendesak, agar ulama tidak mengalami kegagapan dankegamangan dalam menghadapi transisi politik yang hiruk-pikuk berlangsung.Konsistensi terhadap sikap ini tentu memberi nilai positif bagi penciptaangenerasi yang kuat dan tidak tergoda permainan politik yang sifatnya sesaat.Tanpa kesadaran ini, umat akan kehilangan orientasi jangka panjangnya danmodalitas bangsa akan hilang sia-sia dalam sekejap.
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkanuniversal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan,keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrismeyang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaranIslam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam. Dengan tema-tema semaam itu,wajah Islam akan lebih ramah dan lebih toleran terhadap berbagai hal tanpaharus menghilangkan substansi dari ajarannya.
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi,Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal,selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri.Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Oleh karenanya,segenap kaum muslimin harus mengembangkan kultur yang lebih progresif dan visionerbaik dalam berpolitik maupun bermasyarakat.
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekalimenyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampakbahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaanpopuler di Indonesia. Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsikonsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata bendayang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu jugamenyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan.Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilahpinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenaldalam khazanah budaya populer. Akankah kaum muslim di Indonesia menafikankenyataan historis dan kultural tersebut?
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa agama Islamadalah agama langit yang kemudian "membumi". Ketika masih di"langit" Islam adalah agama yang sempurna dan mutlak benar, tetapiketika "membumi" maka ia mengalami proses pembudayaan atau pergumulanbudaya dimana ada peran manusia yang tidak sempurna sehingga sebagai agama bumiIslam tidak lagi sebagai agama yang mutlak benar, tetapi memiliki variasitingkat kedekatan dengan kebenaran. Dengan demikian maka ada kebudayaan Islamyang sangat dekat dengan syari`at (budaya syar`iy) disamping ada kebudayaanyang hanya merupakan sempalan saja dari Islam, karena ia lebih dekat kekebudayaan lokal setempat. Di sisi lain ada kebudayaan ummat Islam yang malahtidak ada relevansinya dengan Islam.

Nilai Budaya
Banyak definisi tentang kebudayaan, tetapi sayamemilih pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah konsep, keyakinan,nilai dan norma yang dianut masyarakat yang mempengaruhi perilaku mereka dalamupaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekelilingnya.Disamping sebagai fasilitas, alam adalah tantangan yang harus diatasi. Berbedadengan hewan, manusia tidak puas hanya
denganapa yang terdapat dalam alam kebendaan. Dengan konsep yang dimiliki manusiaberusaha mengolah alam ini , dan dengan kesadaran dan cita-citanya manusiamerumuskan apa yang bermakna dan apa yang tidak bermakna dalam kehidupannya.Sekurang-kurangnya ada enam nilai yang amat menentukan wawasan etika dankepribadian manusia sebagai individu maupun sebagai masyarakat, yaitu :ekonomi, solidaritas, agama, seni, kuasa dan teori.

1. Nilai teori. Ketikamanusia menentukan dengan obyektip identitas
benda-benda ataukejadian-kejadian, maka dalam prosesnya hingga
menjadi pengetahuan,manusia mengenal adanya teori yang menjadi
konsep dalam prosespenilaian atas alam sekitar.

2. Nilai ekonomi.Ketika manusia bermaksud menggunakan benda-benda
atau kejadian-kejadian,maka ada proses penilaian ekonomi atau
kegunaan, yakni denganlogika efisiensi untuk memperbesar kesenangan
hidup. Kombinasi antaranilai teori dan nilai ekonomi yang senantiasa
maju disebut aspekprogressip dari kebudayaan.

3. Nilai agama. Ketikamanusia menilai suatu rahasia yang menakjubkan
dan kebesaran yangmenggetarkan dimana di dalamnya ada konsep
kekudusan danketakziman kepada yang Maha Gaib, maka manusia mengenal
nilai agama.

4. Nilai seni. Jikayang dialami itu keindahan dimana ada konsep
estetika dalam menilaibenda atau kejadian-kejadian, maka manusia
mengenal nilai seni.Kombinasi dari nilai agama dan seni yang sama-
sama menekankanintuisi, perasaan, dan fantasi disebut aspek
ekpressip darikebudayaan.

5. Nilai kuasa. Ketikamanusia merasa puas jika orang lain mengikuti
fikiranya,norma-normanya dan kemauan-kemauannya, maka ketika itu
manusia mengenal nilaikuasa.

6. Nilai solidaritas.Tetapi ketika hubungan itu menjelma menjadi
cinta, persahabatan dansimpati sesama manusia, menghargai orang
lain, dan merasakankepuasan ketika membantu mereka maka manusia
mengenal nilaisolidaritas.

Enam nilai budaya itu merupakankristalisasi dari berbagai macam nilai kehidupan, yang selanjutnya menentukankonfigurasi kepribadian dan norma etik individu maupun masyarakat. Nilai apayang paling dominan pada seseorang atau sekelompok orang, akan menentukan"sosok" mereka sebagai manusia budaya (al insan madaniyyun bi atthab`i). Orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai ekonomi cenderung kurangmemperhatikan halal dan haram, orang yang lebih dipengaruhi oleh nilai teoricenderung menjadi ilmuwan, yang lebih dipengaruhi oleh nilai kuasa cenderungtega dan nekad, yang lebih dipengaruhi oleh nilai agama dan seni cenderung menjadi sufi dan seterusnya, sehingga adasosok orang yang materialis, seniman, pekerja sosial an sebagainya. Bisa jugaada ilmuwan yang mengabdi kepada materi, politisi yang pejuang, ulama yangrasionil, ilmuwan yang mistis dan sebagainya.

Budaya progressip akan mengembangkan cara berfikirilmiah dan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, sedangkan puncak daribudaya ekpressip  bermuara padakepercayaan mitologis dan mistik. Pendukung budaya progressip pada umumnyadinamis dan siap digantikan oleh generasi penerus dengan penemuan-penemuanbaru, sedangkan pendukung budaya ekpressip biasanya statis atau tradisional,memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah final.

Sample Text

Social Profiles

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

About

Featured Posts Coolbthemes