Thursday, October 6, 2011

Sejarah Sastra


Kuntowijoyo, Sastra Profetik
dan Sastra Islam


Membacakover depan Majalah Sastra Horison, No 5, terbitan bulan Mei 2005 lalu,tepatnya ketika saya masih di pesantren, saya terakejut, karena tertera suratKontowijoyo—barangkali itu surat terakhirnya kepada Redaksi majalah sastranusantara tersebut. Karena, tiga minggu setelahnya, Kontowijoyo wafat. Kuranglebih, demikian isi surat yang ditulisnya tersebut:

Assalamualaikum war. wab.
Redaksi Horison Yth.
Bersama ini saya kirimkan naskah “Maklumat Sastra Profetik”meskipun terlalu panjang untuk format majalah. Karena itu, mohon jangan merasadi-fait accompli dan dipaksakan pemuatannya. Anggap saja kiriman ini sebagaipemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena sayaterlanjur dikabarkan – terutama lewat Horison sebagai penganjur SastraProfetik. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya kirim ke Horison terlebihdahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak memuat. Mohon berita lewattelepon 0274-881-XXX, terutama selepas pukul 08.00 malam
Wassalamualaikum war.wab.

Sebelumwafat, Kuntowijoyo ingin menjelaskan tentang kredo yang disebutnya sebagai“maklumat”, sebagai pengumuman atau penjelasan kepada orang lain dan masyarakatsastra tentang karya-karya yang dilahirkannya.

Dalam“Maklumat Sastra Profetik”-nya ia menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastraialah sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastraibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dansastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas “objektif” danuniversal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastramurni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.”[1]
Apayang dinyatakan oleh Kuntowijoyo di atas adalah sebuah pilihan di tengah anekaragam pilihan yang ada di dunia ini. Jadi, jika orang lain boleh memilih pahamyang lain, kenapa Kuntowijoyo tidak boleh memilih suatu pilihan yang lahir darikejujuran hati nuraninya?
Pandangan-pandanganyang lain yang berbeda bisa melakukan dialog dengan pandangan Kuntowijoyo. Karenadengan pandangan-pandangan lain itulah perjalanan kebudayaan adalah dialogkreatif tak kunjung berhenti.
Kenapasastra sebagai ibadah? Menurut Kuntowijoyo, Islam yang utuh itu harus meliputiseluruh muamalahnya. Kuntowijoyo berangkat dari firman Allah dalam al-Qur’an: “Masuklahkamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (Q.S. 2:208). Pengarangyang shalat dengan rajin, zakat dengan ajeg, haji dengan uang halal, tetapipekerjaan sastranya tidak diniatkan sebagai ibadah, menurut Kuntowijoyo,Islamnya tidak kaffah.[2]
Pandanganitu bisa dirujuk dengan tauhid, meskipun dalam maklumatnya Kuntowijoyo lebihsering menyebut iman, kaffah, profetik dan lain-lain. Tauhid di sini, tidaksaja menyembah satu-satunya Dzat, satu-satunya Pencipta alam semesta, yaituAllah. Lebih dari itu, tauhid bermakna menomorsatukan nilai-nilai yang dariAllah. Alasannya, karena manusia itu milik Allah yang Maha Pengasih lagi MahaPenyayang. Kuntowijoyo tidak pernah merasa memiliki dirinya sendiri karena ituia harus muslim (menyerah, damai) kepada Allah. Berdamai dengan Allah untukmengupayakan hidup yang bermakna, maka muncullah “Sastra Profetik” karena inginmeniru Nabi yang rahmah li al-’alamin (rahmat bagi alam semesa)sekaligus sebagai uswah al-hasanah (teladan yang baik). Meniru akhlakNabi bagi Kuntowijoyo adalah cara yang paling benar dalam mengabdi kepadaAllah. Hati yang bertauhid, taqarrub (dekat) kepada Allah, berdzikir akanmembuat hati menjadi jernih dan mudah untuk mendapatkan jalan kebenaran (shirathal-mustaqim).

Tiga Konsep Karya-karya Kuntowijoyo
Bilakita membaca dengan cermat karya-karya Kuntowijoyo—Kumpulan Cerpen DilarangMencintai Bunga-bunga, Mantra Penjinak Ular, Wasripin dan Satinah, dll— makasetidaknya dapatlah kita memiliki sebuah gambaran tentang sikap pengarangterhadap karya yang dihasilkannya. Dalam sastra, misalnya, Kuntowijoyomemetakan dua macam sastra yang bertentangan; pertama, sastra universalhumanistik-emansipatoris-liberasi. Kedua, sastra religius-transendental-spiritual.Melihat peta semacam ini, maka sastra yang dipilih dan dicita-citakan olehKuntowijoyo adalah jenis sastra (Islam) profetik, yang menggabungkan keduanya.Meminjam pengertian Amin Wangsitalaja tentang pemahaman profetik Kuntowijoyo,bahwa sastra profetik adalah jenis sastra yang bisa menggabungkan keduanya,yaitu sastra yang sekaligus mengandung emansipasi (amar ma’ruf),liberasi (nahyi mungkar), dan transendensi (iman billah). Konsepini didasarkan pada Qur;an Surat Ali Imran: 110.[3]
Karenaitu, Kuntowijoyo menyatakan, kekuasaan Tuhan itu berbeda dengan kekuasaanmanusia. Kekuasaan Tuhan itu membebaskan, ikatan yangmembebaskan. Menurut Kuntowijoyo, itu “sebuah kebenaran paradoksal”.
Iman,transendensi, ruh selalu menjadi perhatian Kuntowijoyo. Kesadaran itudipeluknya dengan kuat, berdasarkan ayat suci, ia meyakini perjanjian denganTuhan di alam azali bahwa sebelum manusia lahir ke dunia telah menyatakan berimankepada Allah. Karena itu, kelahiran ke dunia untuk tetap memelihara kesaksianitu dengan menjaga kesucian fitrah.

Sastra Islam di Indonesia
Berbicaramengenai sastra Islam di Indonesia, hampir selalu mengundang polemik. Polemiktersebut bahkan tak beranjak dari hal yang itu-itu juga, yaitu pro dan kontra mengenai apa yangdisebut sebagai "pengkotak-kotakansastra", serta masalah definisi dan kriteria sastra Islam.Uniknya, pihak yang tidak setuju dengan istilah atau konsep "sastra Islam" justrudidominasi oleh kalangan muslim sendiri.
Pembahasantentang sastra Islam saat ini di Indonesia menjadi sangat minim, kalau bolehdikatakan nyaris tak ada. Mati?. Jangankan pembahasan karya, apa itu sastraIslam saja sampai saat ini masih kabur alias tak ada rujukan yang jelas, baikdari para sastrawan sendiri, kritikus maupun ulama.
Sebenarnya cukupbanyak beberapa sastrawan muslim yang memberi istilah sendiri pada karya sastrayang dibuatnya yang mengarah pada "sastraIslam" Istilah-istilah tersebut berakar pada wacana keimananatau religiusitas yang dibawanya. Ada yang menyebutnya sastra pencerahan(Danarto), sastra profetik (Kuntowijoyo), sastra sufistik (Abdul Hadi WM),sastra zikir (Taufiq Ismail), sastra terlibat dengan dunia dalam (M. FudoliZaini), sastra transenden (Sutardji Calzoum Bachri), dan sebagainya. Namunselain Abdul Hadi WM, tak satu pun yang mengidentikkan penyebutan tersebutdengan sastra Islam, walau sebenarnya hal tersebut, tak bisa dinafikan,merupakan tafsir lain dari sastra Islam. [4]
Polemik tentangsastra Islam selama ini membuat cukup banyak kalangan bingung dan terus mencari-cariinformasi tentang hal tersebut. Apalagi perihal sastra Islam jarang disinggungoleh para sastrawan, kritikus bahkan ulama karena tidak atau belum dianggapsebagai sesuatu yang penting.
Padahal dalamkonteks Islam, semua yang dilakukan seorang muslim seharusnya merupakan bentukdari ibadahnya kepada Allah, termasuk dalam berkesenian dan bersastra,sebagaimana yang dikatakan Allah "Dantidak Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaku.
Dalam ManifesKebudayaan dan Kesenian Islam 13 Desember 1963 di Jakarta, yang dideklarasikanuntuk merespon Lekra dan Manifes Kebudayaan 17 Agustus 1963 para seniman,budayawan muslim beserta para ulama yang dimotori Djamaludin Malik, menyatakanbahwa yang disebut dengan kebudayaan, kesenian (kesusastraan) Islam ialahmanifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdikepada Allah untuk kehidupan ummat manusia. Seni Islam adalah seni karena Allahuntuk umat manusia yang dihasilkan oleh para seniman muslim bertolak dari ajaranwahyu Ilahi dan fitrah insani.

Batasan Beragama dan Berkarya Kuntowijoyo
Sastra Kuntowijoyo dalam pemikirannya lebih cenderungreligius dan sufistik dengan menentangkan kehidupan yang ideal dengan yang takideal. Ini merupakan pemikiran Kunto yang bercorak religius dan cenderung sufistikdalam era pemikirannya, dan berakhir pada tahun 1990-an. Sedangkan daripuisinya yang bercorak religius

Angin gemuluh di hutan 
Memukul ranting Yang lama juga
Tak terhitung  jumlahnya
Mobil di jalan Dari ujung ke ujung
Aku ingin menekan tombol
Hingga lampu merah itu Berhenti
Angin, mobil dan para pejalan
Pikirkanlah, ke mana engkau pergi 
(Suluk Awang Uwung)

Makna yang diinginkan oleh penulis merupakan nasehatbahwa kita sering terjebak pada rutinitas dunia, sehingga lupa kemana arahtujuan hidup ini. Seperti pada kata aku ingin menekan tombol hingga lampu merahitu berhenti bermakna ia berusaha ingin menghentikan ritualitas manusia yangkehilangan makna hidup. Sedangkan pada kata angina, mobil dan para pejalanpikirkanlah kemana engkau pergi merupakan sikap untuk merenungi apa yang telahdilakukan dan apa yang direncanakan, sehingga tidak terjebak dengan rutinitaskehidupan. Selanjutnya pemikiran yang bercorak profetis dalam puisi yang dibuatoleh Kunto.

Sebagai hadiah
Malaikat menanyakan
apakah aku ingin berjalan
di atas mega
dan aku menolak
karena kakiku masih dibumi
sampai kejahatan terakhirdimusnahkan
sampai dhuafa danmustadh’afin
diangkat Tuhan daripenderitaan
(Makhrifat Daun Daun Makhrifat)

Sajak tersebut ditulis pada tahun 1995 ketika kesehatanKuntowijoyo masih terganggu. Dalam keadaan sakit, ia melihat malaikatberkelebat sambil menawarkan hadiah kepadanya. Tetapi, Kuntowijoyo menolaktawaran tersebut. Sebab, konsekuensi menerima tawaran itu adalah ‘terbang daribumi’. Maka ada semacam perjuangan melawan maut barangkali. Bagaimanapun,pengalaman sakitnya yang lama membuatnya berusaha untuk sembuh. Ia terserang Meningoencephalitis, radang selaput otak kecil yang menyebabkan kelumpuhan.
Sejak 1992 ia sempat dirawat di Ruang Gawat Darurat RSSardjito, Yogyakarta, selama 35 hari dan mesti beristirahat untuk waktu yangcukup lama.Itulah sejarah Kuntowijoyo, yang sempat menuliskan pengalamannyadalam bentuk puisi. Puisi tersebut selain bercerita pengalaman mistisnya kepadapembaca, juga ingin mengabarkan bahwa di dunia ini masih dipenuhi kejahatan danpenderitaan. Terlihat ia sangat peduli pada dunia. Meminjam kata-kata Leonardoda Vinci, Kuntowijoyo seperti ingin memperbaiki bumi yang rusak, ingin melukislangit agar menjadi indah, tidak ikhlas diberi hadiah malaikat(nikmat-ketenteraman) jikalau bumi masih carut marut. Dari puisitersebut, dapat saya tulis tiga hal tentang sastra dan sejarah. Pertama,bahwa puisi bukan semata lukisan peristiwa-peristiwa, namun memungkinkan maknadari peristiwa-peristiwa.

Penutup
Demikian kiranyagagasan-gagasan Kuntowijoyo dalam membangun keanekaragaman sastra yangberakembang di Indonesia. Bagaimanapun, maklumat tentang ”Sastra Profetik”-nyabenar-benar memiliki ruh, yang seolah-olah mewakilinya untuk membenarkan bahwakarya-karya yang dihasilkan oleh Kuntowijoyo. Di dalamnya terdapatstrukturisasi pengalaman yang cukup tinggi, beserta strukturisasi imajinasiyang melebihi kognisi pengalamannya. Dengan demikian, keduanya akan menghasilkanstrukturisasi nilai yang terkandung dan terbentuk sedemikian rupa dalamkarya-karyanya.


[1] Kuntowijoyo, “Maklumat Sastra Profetik:Kaidah, Etika, dan Struktur Sastra”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005,hal. 8.
[2] Ibid, hal. 9.
[3] Wangsilataja, Amien, “Dua Budaya Tiga Resep”,dalam Majalah Horison/Kakilangit, No. 142, Oktober 2008, hal. 8.
[4] El-Moezany, Matroni, “Benarkah Sastra Islam Ada?”, dalam website http://www.fordisastra.com

0 comments:

Post a Comment

Sample Text

Social Profiles

Arsip Blog

Pengikut

Guest Counter

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Popular Posts

Blog Archive

About

Featured Posts Coolbthemes